Dolar Menguat, Rupiah Kembali Tertekan Gara-Gara Pernyataan Bank Sentral AS
Rupiah Melemah Awal Pekan: Dolar AS Perkasa karena Sinyal Hawkish The Fed
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka melemah pada awal pekan ini. Pelemahan rupiah terjadi di tengah menguatnya dolar AS, yang didorong oleh pernyataan bernada hawkish dari sejumlah pejabat Federal Reserve (The Fed) terkait arah kebijakan suku bunga AS.
Pada Senin (3 November 2025), kurs rupiah di pasar spot dibuka turun 7 poin (0,04 persen) ke level Rp16.638 per dolar AS, dibandingkan posisi penutupan sebelumnya di Rp16.631 per dolar AS. Tekanan terhadap rupiah masih berlanjut sejak akhir Oktober, seiring meningkatnya kekhawatiran bahwa The Fed belum akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat.
Komentar Pejabat The Fed Bikin Dolar Menguat
Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah dipicu oleh komentar sejumlah pejabat The Fed yang menegaskan sikap berhati-hati terhadap kebijakan moneter.
“Rupiah melemah terhadap dolar AS yang kembali menguat karena dukungan pernyataan hawkish dari pejabat-pejabat The Fed, yaitu Jeff Schmid (Presiden The Fed Kansas City), Lorie Logan (Presiden The Fed Dallas), dan Beth Hammack (Presiden The Fed Cleveland),” ujar Lukman, dikutip dari Antara.
Dalam pernyataannya, Jeff Schmid menilai bahwa pasar tenaga kerja AS masih kuat, sementara tingkat inflasi masih di atas target 2 persen. Hal senada disampaikan Lorie Logan, yang menolak pemangkasan suku bunga selama inflasi belum menunjukkan penurunan signifikan.
Sementara itu, Beth Hammack menegaskan bahwa suku bunga tinggi masih dibutuhkan untuk memastikan tekanan harga benar-benar terkendali.
Meski begitu, ada pandangan berbeda dari Raphael Bostic, Presiden The Fed Atlanta, yang menilai kebijakan moneter AS sudah cukup ketat, sehingga ruang penurunan suku bunga terbuka dalam beberapa bulan mendatang.
Sentimen Global Masih Menekan Mata Uang Asia
Selain faktor The Fed, penguatan dolar juga diperkuat oleh data ekonomi AS yang solid. Laporan terbaru menunjukkan indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) — ukuran inflasi pilihan The Fed — masih bertahan di kisaran 2,8 persen (yoy), menandakan inflasi belum turun sesuai target.
Kondisi ini membuat investor global kembali mencari aset aman (safe haven) seperti dolar AS dan obligasi pemerintah AS, sehingga menekan sejumlah mata uang utama di Asia, termasuk rupiah, yen Jepang, dan won Korea Selatan.
Dampak ke Indonesia dan Prospek BI Rate
Di dalam negeri, tekanan eksternal ini terjadi di tengah inflasi nasional yang diperkirakan naik tipis ke 2,7 persen pada Oktober 2025. Angka tersebut masih berada dalam rentang target Bank Indonesia (BI) sebesar 1,5–3,5 persen.
Dengan inflasi yang masih terkendali, sebagian analis menilai BI masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuan (BI-Rate) pada kuartal pertama 2026 guna mendukung pertumbuhan ekonomi domestik. Namun, langkah tersebut kemungkinan akan tertunda jika tekanan terhadap rupiah terus berlanjut.
“BI akan berhati-hati dalam mengambil langkah. Penurunan suku bunga terlalu cepat bisa memicu arus keluar dana asing dan melemahkan rupiah lebih dalam,” kata Lukman menambahkan.
Rupiah Diprediksi Bergerak di Kisaran Rp16.600–Rp16.700
Untuk jangka pendek, para analis memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.600–Rp16.700 per dolar AS, dengan arah pergerakan sangat bergantung pada data ekonomi AS dan sinyal kebijakan The Fed selanjutnya.
Pasar akan mencermati rilis data non-farm payrolls (NFP) AS pekan ini, yang dapat memberikan petunjuk lebih lanjut tentang kekuatan pasar tenaga kerja dan kemungkinan waktu pemangkasan suku bunga pertama pada 2026.
0 Comments