Devisa Ekspor Rokok Naik Tajam 94%, Capai Rp 30 Triliun

Devisa Ekspor Rokok Naik Tajam 94%, Capai Rp 30 Triliun

Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia: Kontribusi, Perkembangan, dan Tantangan Terbaru

Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia terus menjadi salah satu sektor strategis dalam perekonomian nasional, baik dari sisi ekspor maupun penerimaan negara melalui cukai. Namun di balik kontribusinya yang besar, sektor ini menghadapi tekanan yang semakin intens dari regulasi, peredaran rokok ilegal, dan kondisi ekonomi makro yang tidak menentu. Berikut pembahasan lengkap dengan data dan perkembangan terbaru hingga tahun 2025.

Kontribusi Ekspor dan Devisa

Sektor IHT menunjukkan lonjakan ekspor yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Ekspor produk tembakau, termasuk rokok dan bahan tembakau olahan, tercatat meningkat lebih dari 20 persen pada tahun 2024 dibandingkan tahun sebelumnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor produk tembakau Indonesia sepanjang awal 2025 telah mencapai lebih dari 188 juta dolar AS. Provinsi Jawa Timur menjadi penyumbang terbesar, dengan nilai ekspor tembakau mencapai sekitar 929 juta dolar AS pada 2024, naik dari 793 juta dolar AS pada 2023.

Tujuan ekspor juga semakin beragam. Pada kuartal pertama 2025, Indonesia mengekspor lebih dari 1.100 ton tembakau ke berbagai negara, dengan Amerika Serikat menjadi pasar terbesar. Negara tujuan lainnya mencakup Jerman, Turki, Mesir, dan Belgia.

Secara keseluruhan, ekspor produk tembakau pada 2024 mencapai sekitar 1,8 miliar dolar AS atau setara Rp 30 triliun. Angka ini meningkat tajam dibandingkan tahun 2020 yang hanya sekitar 600 juta dolar AS. Lonjakan ini menegaskan bahwa IHT memiliki kontribusi besar terhadap devisa negara dan daya saing Indonesia di pasar global.

Penerimaan Negara dan Pajak Cukai

Dari sisi penerimaan negara, sektor IHT memiliki peran penting melalui Cukai Hasil Tembakau (CHT). Pada 2023, penerimaan cukai dari sektor ini mencapai sekitar Rp 213 triliun, dan naik menjadi sekitar Rp 216 triliun pada 2024.

Hingga pertengahan 2025, realisasi penerimaan cukai tembakau telah menembus Rp 121 triliun, meningkat sekitar 9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, pemerintah mengakui bahwa target penerimaan cukai tahun 2025 sebesar Rp 230 triliun kemungkinan sulit tercapai karena penurunan produksi rokok dan meningkatnya peredaran rokok ilegal.

Selain memberikan pemasukan besar bagi negara, industri ini juga menjadi penyerap tenaga kerja yang signifikan. Diperkirakan sekitar 6 juta orang bekerja di sektor ini, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik rokok, distributor, hingga pedagang eceran.

Produksi dan Distribusi Domestik

Produksi rokok nasional masih sangat besar, dengan rata-rata mencapai 500 miliar batang per tahun. Sekitar 55 persen dipasarkan di dalam negeri, sementara sisanya diekspor ke berbagai negara.

Namun, pada semester pertama 2025, produksi rokok nasional dilaporkan turun sekitar 2,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat, perubahan perilaku konsumen, serta kenaikan tarif cukai pada beberapa kategori produk rokok.

Tantangan Utama: Rokok Ilegal, Ekonomi Bawah Tanah, dan Regulasi

Meskipun memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian, industri hasil tembakau menghadapi sejumlah tantangan serius.

  1. Peredaran Rokok Ilegal
    Peredaran rokok ilegal masih menjadi ancaman utama. Meskipun prevalensinya sempat menurun sekitar 11 persen, jumlah batang rokok ilegal yang berhasil ditindak justru meningkat hingga 37 persen atau sekitar 800 juta batang hingga September 2025.
    Peredaran ini didominasi oleh rokok kretek mesin tanpa pita cukai. Akibatnya, potensi kerugian negara akibat hilangnya penerimaan cukai diperkirakan mencapai Rp 25 hingga 40 triliun per tahun.

  2. Ekonomi Bawah Tanah (Underground Economy)
    Aktivitas ekonomi bawah tanah di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 23 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kondisi ini turut mendorong peredaran barang ilegal, termasuk rokok tanpa cukai, yang pada akhirnya menggerus potensi penerimaan negara.

  3. Tekanan Regulasi dan Kebijakan Cukai
    Kebijakan kenaikan tarif cukai yang diterapkan setiap tahun menyebabkan tekanan terhadap industri, terutama bagi produsen kecil dan menengah. Produksi rokok sempat turun hampir 4 persen pada kuartal pertama 2025 akibat dampak kebijakan fiskal yang ketat.
    Selain itu, pemerintah juga tengah menyiapkan kebijakan baru yang memperketat pengawasan iklan dan distribusi produk tembakau. Beberapa wacana seperti pelarangan penjualan rokok ketengan dan pengaturan kemasan polos mulai dibahas untuk implementasi beberapa tahun ke depan.

  4. Tekanan Ekonomi dan Daya Beli
    Pelemahan daya beli masyarakat membuat sebagian konsumen beralih ke produk rokok ilegal yang jauh lebih murah. Kondisi ini tidak hanya menggerus pangsa pasar produsen legal, tetapi juga memperbesar potensi kehilangan penerimaan cukai bagi negara.

Langkah Pemerintah dan Prospek ke Depan

Pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk menekan peredaran rokok ilegal dan menjaga stabilitas industri. Salah satunya dengan memperkuat sinergi antara Bea Cukai, Kementerian Perindustrian, dan aparat penegak hukum untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum di lapangan.

Selain itu, pemerintah juga tengah menyiapkan program “zona industri tembakau” untuk membantu pelaku industri kecil yang masih beroperasi tanpa izin agar dapat beralih menjadi produsen legal dengan skema cukai khusus. Program ini diharapkan dapat mulai dijalankan pada akhir 2025.

Dalam jangka menengah, volume ekspor tembakau Indonesia diproyeksikan tumbuh rata-rata hampir 5 persen per tahun hingga 2027. Namun, pertumbuhan tersebut sangat bergantung pada stabilitas regulasi, efisiensi produksi, dan kemampuan industri menyesuaikan diri terhadap tekanan global serta perubahan pola konsumsi masyarakat.

Kesimpulan

Industri Hasil Tembakau Indonesia tetap menjadi pilar penting bagi perekonomian nasional. Selain memberikan devisa besar dan menyerap jutaan tenaga kerja, sektor ini juga menjadi sumber utama penerimaan negara melalui cukai. Namun, di tengah berbagai tantangan seperti rokok ilegal, kebijakan fiskal yang ketat, dan perubahan perilaku konsumen, IHT perlu melakukan transformasi agar tetap berdaya saing dan berkontribusi positif bagi perekonomian Indonesia di masa depan.