DJP Jawa Barat II Tahan Penunggak Pajak Rp 21 Miliar

DJP Jawa Barat II Tahan Penunggak Pajak Rp 21 Miliar

DJP Lakukan Penyanderaan Terhadap Penunggak Pajak Rp 21,15 Miliar di Jakarta Utara — Langkah Hukum Terakhir untuk Pemulihan Penerimaan Negara

Jakarta, 11 Desember 2025 — Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Barat II melalui KPP Pratama Cikarang Selatan resmi melaksanakan tindakan penyanderaan (gijzeling) terhadap MW, yang diketahui merupakan Komisaris sekaligus Pemegang Saham PT SI, di kediamannya di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Tindakan ini diambil setelah berbagai upaya penagihan pajak tidak membuahkan hasil, di mana total tunggakan pajak yang belum dibayar mencapai Rp 21,158 miliar dan tidak dilunasi sejak 2021.

Pernyataan Otoritas Pajak

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat II, Dasto Ledyanto, menegaskan bahwa penyanderaan adalah langkah hukum profesional yang diambil berdasarkan ketentuan undang‑undang dan hanya sebagai langkah terakhir setelah semua upaya penagihan ditempuh secara menyeluruh. Proses ini dilakukan dengan menjunjung tinggi kepastian hukum, kehati‑hatian, dan profesionalisme sesuai standar penegakan hukum perpajakan di Indonesia.

Upaya Penagihan Sebelumnya

Sebelum melakukan gijzeling, DJP melalui KPP Pratama Cikarang Selatan telah melaksanakan rangkaian tindakan penagihan yang diatur dalam perundang‑undangan:

  • Penerbitan Surat Teguran (ST) sebagai peringatan formal kepada wajib pajak.

  • Penerbitan Surat Paksa, sebagai surat perintah membayar utang pajak beserta biaya penagihan.

  • Pemanggilan dan imbauan pembayaran sesuai mekanisme.

  • Pemblokiran dan penyitaan rekening bank, termasuk pemindahbukuan saldo untuk mengamankan aset.

  • Pencegahan ke luar negeri, yang dimulai sejak 2023–2024 untuk mencegah wajib pajak keluar dari Indonesia sebelum kewajiban dipenuhi.

Dasar Hukum Penyanderaan

Tindakan penyanderaan ini berlandaskan pada Undang‑Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, yang telah diubah melalui Undang‑Undang Nomor 19 Tahun 2000. Ketentuan tersebut menyatakan:

  • Penyanderaan berlaku bagi penanggung pajak yang memiliki utang minimal Rp 100 juta dan dianggap tidak menunjukkan itikad baik dalam membayar.

  • Gijzeling merupakan pengekangan sementara kebebasan fisik penanggung pajak dan hanya dilakukan setelah semua upaya penagihan administratif tidak berhasil.

  • Lokasi penyanderaan harus sesuai ketentuan, seperti di Rutan atau tempat tertutup yang layak serta diawasi aparat hukum.

Sebelum pelaksanaan, DJP memperoleh izin resmi dari Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, dan melakukan koordinasi dengan Bareskrim Polri serta Kanwil Pemasyarakatan DKI Jakarta untuk menjamin ketentuan hukum dan keselamatan pelaksanaan.

Mengapa Gijzeling Digunakan?

Gijzeling bukanlah tindakan sewenang‑wenang, melainkan bagian dari alat paksa penagihan pajak yang sah menurut undang‑undang. Selain gijzeling, DJP juga dapat melakukan:

  • Surat Paksa

  • Sita Barang

  • Lelang Aset

  • Pencegahan Keberangkatan Wajib Pajak

Gijzeling dipilih hanya setelah penagihan administratif seperti teguran, pemanggilan, pemblokiran rekening, dan penyitaan tidak berhasil mendorong wajib pajak melunasi utangnya. Langkah ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera sekaligus memastikan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan, yang menjadi salah satu sumber utama pembiayaan pembangunan nasional.

Skala Kasus Penyanderaan dalam 2025

Kasus MW bukan satu-satunya kejadian penyanderaan pada 2025. Pada akhir November 2025, DJP juga melakukan penyanderaan terhadap seorang wajib pajak berinisial SHB di Semarang, Jawa Tengah, dengan total utang pajak lebih dari Rp 25 miliar. Hal ini menunjukkan upaya DJP yang semakin gencar menegakkan hukum terhadap penunggak besar untuk memperkuat disiplin perpajakan.

Respon Publik dan Kontroversi

Tindakan penyanderaan memicu perbincangan di masyarakat. Sebagian pihak menilai kebijakan ini sebagai langkah tegas negara dalam menegakkan hukum pajak dan melindungi kepentingan penerimaan negara. Namun, sebagian lain mempertanyakan aspek hak asasi manusia dan proporsionalitas hukuman fisik terhadap masalah utang administratif. Pemerintah melalui DJP menegaskan bahwa prosedur ini diatur secara ketat dalam undang‑undang dan hanya digunakan sebagai opsi terakhir setelah prosedur lain terbukti gagal.