Harga Minyak Dunia Turun, Pasokan Diprediksi Melimpah

Harga Minyak Dunia Turun, Pasokan Diprediksi Melimpah

Harga Minyak Dunia Terjun ke Level Terendah dalam 5 Bulan, Kekhawatiran Pasokan Global Membayangi

Harga minyak mentah dunia kembali anjlok ke posisi terendah dalam lima bulan terakhir pada perdagangan Senin (21 Oktober 2025). Penurunan ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap potensi kelebihan pasokan global, serta melemahnya prospek permintaan energi akibat ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.

Mengutip data CNBC, harga minyak mentah Brent turun sebesar 28 sen atau 0,46 persen menjadi USD 61,01 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) melemah 2 sen atau 0,03 persen ke posisi USD 57,52 per barel. Kedua acuan utama harga minyak itu sempat jatuh lebih dari USD 1 di awal sesi perdagangan, sebelum akhirnya ditutup di level terendah sejak awal Mei 2025.


Pasar Masuk Fase Contango, Sinyal Surplus Mulai Terlihat

Kondisi pasar minyak global kini memasuki pola contango, yaitu situasi ketika harga minyak untuk pengiriman jangka pendek lebih rendah dibandingkan pengiriman jangka panjang. Struktur ini mencerminkan kekhawatiran pelaku pasar terhadap kemungkinan banjir pasokan (oversupply) dan mendorong para pedagang untuk menyimpan minyak agar bisa dijual kembali di masa depan saat harga lebih tinggi.

Kami memperkirakan peningkatan penyimpanan minyak mengambang dan tangki darat yang mulai penuh menjelang 2026,” ujar John Kilduff, Partner di Again Capital, seperti dikutip CNBC.

Ia menambahkan bahwa produksi tinggi dari beberapa negara penghasil utama — termasuk Amerika Serikat, Arab Saudi, dan Rusia — membuat pasar semakin sulit menyerap pasokan baru.


Produksi Naik, Permintaan Melemah

Tekanan harga semakin berat setelah laporan terbaru dari Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan akan terjadi surplus pasokan minyak pada 2026, didorong oleh peningkatan produksi dari Amerika Serikat dan negara-negara non-OPEC lainnya.

Sementara itu, permintaan minyak global diprediksi tumbuh lebih lambat karena perlambatan ekonomi China, transisi energi bersih di Eropa, serta melemahnya aktivitas industri di negara maju.

Dalam laporan yang sama, IEA juga mencatat bahwa konsumsi minyak global pada 2025 turun sekitar 300 ribu barel per hari (bph) dibanding proyeksi awal, sementara produksi justru meningkat hampir 500 ribu bph.


Tekanan Geopolitik dan Dolar AS Menguat

Selain faktor fundamental pasokan dan permintaan, penguatan dolar AS turut menekan harga minyak. Dolar yang lebih kuat membuat minyak — yang diperdagangkan dalam mata uang tersebut — menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lain.

Di sisi lain, ketegangan geopolitik di Timur Tengah, terutama terkait negosiasi baru antara Iran dan negara-negara Barat, menambah ketidakpastian pasar. Iran disebut-sebut akan meningkatkan ekspor minyaknya jika sanksi ekonomi terhadap negara itu dilonggarkan, yang berpotensi menambah pasokan global.


Dampak terhadap Indonesia

Bagi Indonesia, penurunan harga minyak ini membawa dampak ganda. Di satu sisi, harga minyak yang lebih rendah dapat mengurangi beban subsidi energi, terutama subsidi BBM dan LPG. Namun, di sisi lain, penurunan harga juga bisa mengurangi pendapatan negara dari sektor migas, terutama dari ekspor minyak mentah dan gas bumi.

Ekonom Energy Watch Indonesia, Mamit Setiawan, menilai bahwa jika tren ini terus berlanjut hingga akhir tahun, pemerintah perlu meninjau ulang asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam APBN 2025.

“Bila harga Brent bertahan di kisaran USD 60 per barel, sementara asumsi ICP masih di atas USD 80, maka penerimaan negara dari migas bisa turun cukup signifikan,” ujarnya.


Prospek ke Depan: Tekanan Masih Berlanjut

Analis memperkirakan harga minyak masih akan bergerak fluktuatif dalam beberapa bulan ke depan. Pasar akan menunggu langkah dari OPEC+ yang dijadwalkan menggelar pertemuan pada akhir November 2025 untuk membahas kemungkinan pemangkasan produksi baru guna menahan penurunan harga lebih lanjut.

Beberapa lembaga riset, seperti Goldman Sachs dan JP Morgan, memperkirakan harga minyak Brent dapat turun hingga USD 58 per barel jika tidak ada intervensi dari OPEC+, namun bisa kembali naik ke kisaran USD 65–70 per barel bila ada kesepakatan pemotongan produksi.


Kesimpulan

Penurunan harga minyak dunia ke level terendah dalam lima bulan terakhir menandakan kerentanan pasar energi global terhadap kombinasi faktor ekonomi, geopolitik, dan perubahan kebijakan energi bersih.

Dengan potensi surplus pasokan pada 2026, pasar tampaknya masih akan menghadapi periode volatilitas tinggi, di mana setiap keputusan dari OPEC+, AS, dan China akan menjadi penentu utama arah harga minyak dalam waktu dekat.