Indonesia Tetap Minta Potongan Tarif Impor, Walau Trump Ancam Soal BRICS

Indonesia Tetap Fokus Turunkan Tarif Impor Meski Trump Ancam BRICS dengan Tarif Tambahan 10%
Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali menggemparkan panggung perdagangan internasional dengan pernyataan kontroversialnya. Setelah mengumumkan kebijakan tarif impor terhadap sejumlah negara, Trump kini mengusulkan tarif tambahan sebesar 10% yang ditujukan secara khusus kepada negara-negara anggota BRICS—yakni Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Meski Indonesia bukan bagian dari aliansi BRICS, pernyataan tersebut tetap mendapat perhatian karena berpotensi mengubah dinamika perdagangan global, termasuk mempengaruhi posisi tawar negara-negara berkembang seperti Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan terpengaruh oleh ancaman tersebut.
Indonesia Tegas: Fokus Turunkan Tarif dari 32%
Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanseto, menyatakan bahwa Indonesia tidak akan terjebak dalam narasi ancaman dan tekanan dagang yang dilontarkan Trump. Fokus utama pemerintah saat ini adalah memperjuangkan penurunan tarif impor dari angka 32%, yang dinilai masih cukup tinggi dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN.
“BRICS itu kita tidak melihat BRICS atau yang lainnya, tapi kita hanya melihat sekarang kita dapat 32 persen. Target kita jelas: tarif yang lebih rendah, bahkan lebih rendah dari negara-negara ASEAN lain,” ujar Haryo dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Menurutnya, wacana pengenaan tarif 10% tambahan oleh AS kepada negara-negara BRICS belum tentu menjadi kebijakan resmi dan tidak relevan dalam konteks negosiasi perdagangan saat ini. Pemerintah Indonesia memilih untuk bersikap rasional dan berbasis data dalam menentukan strategi perdagangan internasionalnya.
Posisi Indonesia dalam Perdagangan Global
Saat ini, Indonesia sedang berada dalam tahap perundingan ulang tarif perdagangan dengan sejumlah mitra dagang utama, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara mitra dalam kerangka Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Dalam konteks tersebut, penurunan tarif menjadi salah satu poin strategis yang terus diperjuangkan.
Indonesia juga secara aktif menjajaki peningkatan kerja sama dagang bilateral dan multilateral, termasuk dengan negara-negara BRICS itu sendiri. Misalnya, hubungan dagang dengan China dan India terus menunjukkan tren positif, dengan pertumbuhan ekspor nonmigas yang signifikan sejak awal 2025.
“Kami tetap konsisten memperjuangkan posisi Indonesia yang adil dan menguntungkan dalam perdagangan global, tanpa terjebak dalam rivalitas geopolitik,” tambah Haryo.
Potensi Dampak Jika Tarif AS Berlaku
Jika ancaman Trump benar-benar diwujudkan, dan tarif tambahan 10% diberlakukan kepada negara-negara BRICS, maka rantai pasok global kemungkinan besar akan terganggu, mengingat BRICS merupakan blok ekonomi yang menyumbang lebih dari 30% PDB dunia. Negara-negara berkembang seperti Indonesia bisa menghadapi tekanan tidak langsung, terutama dari perubahan harga bahan baku, jalur logistik, hingga pengalihan pasar ekspor.
Namun di sisi lain, Indonesia juga dapat memanfaatkan peluang dari perubahan lanskap ini. Dengan memperkuat kerja sama regional di ASEAN dan menjalin kemitraan strategis dengan negara-negara yang terdampak kebijakan AS, Indonesia bisa menjadi alternatif pusat produksi dan ekspor di kawasan.
Kesimpulan
Pemerintah Indonesia menyatakan tetap tenang dan rasional menghadapi dinamika terbaru dari kebijakan dagang AS. Meskipun Presiden Trump kembali mengguncang pasar global dengan ancamannya terhadap BRICS, Indonesia tetap fokus untuk mencapai tujuan strategisnya menurunkan tarif impor dari 32% ke tingkat yang lebih kompetitif, terutama dibandingkan negara-negara ASEAN lain.
Langkah ini bukan hanya bertujuan untuk memperkuat daya saing produk dalam negeri, tetapi juga memastikan Indonesia tidak terseret dalam konflik dagang global yang berpotensi merugikan ekonomi nasional.
0 Comments