Trump Siap Kenakan Tarif Impor Tembaga 50%

Trump Siap Kenakan Tarif Impor Tembaga 50%

Trump Umumkan Tarif Impor 50% untuk Tembaga, Sinyal Tarif Baru 200% untuk Industri Strategis

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara resmi mengumumkan rencana penerapan tarif impor sebesar 50% terhadap tembaga pada Selasa, 8 Juli 2025. Kebijakan ini disampaikan dalam rapat kabinet di Gedung Putih dan menjadi bagian dari strategi perdagangan agresif yang kembali diusung Trump sejak menjabat kembali sebagai Presiden.

“Hari ini kita menetapkan tarif untuk tembaga, dan saya kira tarifnya akan ditetapkan sebesar 50%,” ujar Trump seperti dikutip CNBC, Rabu (9/7/2025). Meskipun demikian, Trump belum memberikan rincian pasti mengenai waktu penerapan kebijakan tersebut.

Selain tembaga, Trump juga mengisyaratkan akan segera memberlakukan tarif tambahan yang jauh lebih tinggi—bahkan mencapai 200%—terhadap sejumlah sektor strategis seperti farmasi, semikonduktor, dan logam lainnya. Ia menegaskan bahwa produsen farmasi diberi waktu selama 18 bulan untuk mulai memproduksi produk di dalam negeri sebelum tarif baru tersebut diberlakukan secara penuh.

Dampak Langsung di Pasar Global

Pengumuman tarif tembaga langsung mengguncang pasar komoditas global. Harga tembaga melonjak 13,12% dalam sehari—kenaikan harian tertinggi sejak 1989—mencapai level rekor baru. Para analis menilai lonjakan ini sebagai reaksi pasar terhadap kekhawatiran pasokan dan spekulasi meningkatnya permintaan domestik di AS.

Saham perusahaan tambang besar seperti Freeport-McMoRan, yang memiliki operasi di Amerika Serikat dan sejumlah negara lain, tercatat naik 5% karena investor memperkirakan perusahaan domestik akan mendapat keuntungan besar dari kebijakan ini.

Amerika Serikat Sangat Bergantung pada Impor Tembaga

Menurut data dari Survei Geologi AS (USGS), tembaga adalah logam industri paling vital ketiga setelah besi dan aluminium. AS diketahui mengimpor hampir 50% dari total kebutuhan tembaga nasionalnya, dengan Chili menjadi pemasok terbesar, diikuti oleh Peru dan Kanada.

Langkah Trump ini juga didasarkan pada laporan penyelidikan yang dilakukan Departemen Perdagangan AS sejak Februari 2025, yang menilai bahwa impor tembaga dapat membahayakan keamanan nasional jika tidak dikendalikan. Menteri Perdagangan Howard Lutnick menyatakan bahwa penyelidikan tersebut telah rampung, dan hasilnya mendukung langkah proteksionis tersebut.

“Ide dasarnya adalah untuk membawa kembali produksi tembaga ke dalam negeri,” kata Lutnick dalam wawancara dengan CNBC.

Reaksi Global dan Potensi Retaliasi

Sejumlah negara eksportir tembaga seperti Chili dan Peru langsung menyuarakan kekhawatiran mereka. Menteri Perdagangan Chili, Claudia Sanhueza, mengatakan pihaknya sedang mempertimbangkan langkah hukum melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena menganggap tarif ini sebagai bentuk proteksionisme yang berlebihan dan merugikan mitra dagang.

Uni Eropa pun menyatakan keprihatinan atas sinyal Trump yang akan mengenakan tarif hingga 200% terhadap produk farmasi dan semikonduktor, mengingat banyak perusahaan Eropa yang mengekspor barang-barang tersebut ke pasar AS.

Pro dan Kontra di Dalam Negeri

Kebijakan tarif Trump mendapat dukungan dari kalangan industri dan kelompok pekerja dalam negeri yang selama ini mengeluhkan ketergantungan AS pada rantai pasok global. Namun, banyak ekonom memperingatkan bahwa tarif tinggi bisa menyebabkan lonjakan harga bahan baku dan produk akhir, sehingga berpotensi menaikkan inflasi domestik.

“Dengan menaikkan tarif tembaga, biaya untuk sektor konstruksi, otomotif, dan elektronik bisa ikut naik. Ini bisa berdampak negatif bagi konsumen AS dalam jangka menengah,” kata Jennifer Harris, ekonom dari Brookings Institution.

Apa Selanjutnya?

Trump diperkirakan akan mengumumkan rincian lebih lanjut dalam beberapa minggu ke depan, termasuk daftar produk yang akan terkena tarif 200% dan jadwal implementasinya. Banyak pengamat memperkirakan ini adalah bagian dari strategi “America First 2.0” yang menargetkan kemandirian industri nasional sebagai pilar kebijakan ekonomi selama masa jabatan keduanya.

Sementara itu, pelaku pasar dan negara-negara mitra dagang tengah bersiap menghadapi gelombang baru kebijakan proteksionis dari Washington yang dapat memicu ketegangan dagang global serupa dengan yang terjadi pada 2018–2019.