Menjelang Natal dan Tahun Baru, Harga Pangan Naik — CIPS Minta Pemerintah Evaluasi Sistem Pengaturan Stok

Menjelang Natal dan Tahun Baru, Harga Pangan Naik — CIPS Minta Pemerintah Evaluasi Sistem Pengaturan Stok

Kenaikan Harga Pangan Menjelang Nataru dan Lebaran Dinilai Bisa Dicegah Jika Pemerintah Lebih Responsif Atur Impor

Lonjakan harga pangan menjelang momen Natal dan Tahun Baru (Nataru) serta Lebaran kembali menjadi sorotan publik. Fenomena ini sebenarnya merupakan pola tahunan yang dapat diprediksi, namun hingga kini belum tertangani secara optimal. Ketika permintaan masyarakat meningkat menjelang libur panjang dan hari besar keagamaan, harga berbagai komoditas—mulai dari cabai, bawang merah, beras, hingga daging—sering kali melejit dan menekan daya beli konsumen.

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai bahwa kondisi ini sebenarnya bisa diantisipasi jika pemerintah memiliki sistem pengelolaan impor yang lebih responsif, transparan, dan berbasis data real-time. Salah satu kunci perbaikan terdapat pada Neraca Komoditas (NK), instrumen tata kelola impor yang mulai diterapkan pada 2022.

Neraca Komoditas Dinilai Belum Efektif

Menurut CIPS, NK sebagai dasar penentuan kebutuhan impor masih menghadapi berbagai tantangan. Peneliti dan Analis Kebijakan Senior CIPS, Hasran, menyampaikan bahwa pemerintah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem tersebut.

“Lonjakan permintaan pada Nataru dan Lebaran membutuhkan sistem impor yang mampu bergerak cepat. Tata kelola yang lebih terbuka dan adaptif diperlukan agar harga pangan tetap terjaga saat kebutuhan konsumen memuncak,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (10/12/2025).

Hasran menjelaskan bahwa sejak penerapannya, berbagai masalah operasional masih muncul, antara lain:

  • Akurasi data pasokan yang belum konsisten, terutama pada komoditas hortikultura dan pangan pokok. Perbedaan data antara kementerian, daerah, dan asosiasi membuat perhitungan kebutuhan nasional menjadi tidak presisi.

  • Lambatnya revisi kuota impor, sehingga menghambat masuknya pasokan tambahan saat harga mulai naik.

  • Alokasi kuota impor yang tidak sesuai kebutuhan pasar, menyebabkan sejumlah komoditas mengalami kelangkaan lokal meskipun kuota secara nasional cukup.

Update Terbaru: Pemerintah Siapkan Perbaikan Mekanisme Impor

Pada pertengahan 2025, pemerintah sebenarnya telah mengumumkan rencana untuk menyempurnakan NK dengan menambah integrasi data dari berbagai lembaga seperti BPS, Badan Pangan Nasional (Bapanas), dan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS). Namun, CIPS menilai implementasinya masih lambat dan belum menjawab kebutuhan pasar secara cepat.

Beberapa update terbaru terkait upaya stabilisasi harga pangan:

  1. Bapanas meningkatkan pemantauan harga harian berbasis digital, termasuk memanfaatkan satelit dan AI untuk memperkirakan produksi pangan tertentu.

  2. Kementerian Perdagangan membuka opsi percepatan izin impor untuk komoditas berisiko tinggi seperti beras dan bawang putih saat indikator harga naik.

  3. Pemerintah daerah diminta lebih proaktif melaporkan stok riil, karena ketidaksinkronan data daerah sering menjadi penyebab terlambatnya respons pemerintah pusat.

  4. Kolaborasi dengan swasta diperluas, terutama importir dan distributor besar, untuk memastikan distribusi lebih merata menjelang puncak permintaan.

Dampak Kenaikan Harga Pangan

Lonjakan harga pangan tidak hanya mempengaruhi rumah tangga berpenghasilan rendah tetapi juga mengganggu pelaku usaha kecil seperti UMKM kuliner. Berdasarkan data Bapanas, rata-rata kenaikan harga cabai rawit pada periode Nataru 2024 mencapai 35%, sementara harga beras premium naik 8–12%. Jika pola ini berulang pada 2025, inflasi pangan berpotensi meningkat dan berdampak pada inflasi nasional.

Ekonom dari berbagai lembaga juga memperingatkan bahwa tingginya harga pangan menjelang hari besar dapat memicu kenaikan biaya logistik, memperbesar risiko penimbunan, dan melemahkan konsumsi rumah tangga, yang merupakan motor utama ekonomi Indonesia.

CIPS Dorong Transparansi dan Kecepatan

Untuk mengatasi persoalan musiman yang terus berulang, CIPS menegaskan bahwa pemerintah perlu:

  • Menetapkan mekanisme impor yang lebih fleksibel, tidak tersandera proses birokrasi panjang.

  • Meningkatkan keterbukaan data sehingga publik dan pelaku usaha bisa turut memantau pergerakan pasokan pangan nasional.

  • Menyusun proyeksi jangka panjang permintaan pangan yang mempertimbangkan faktor cuaca ekstrem, El Nino–La Nina, serta dinamika global.

Selain itu, CIPS juga menilai bahwa penguatan sistem distribusi domestik—termasuk perbaikan cold chain, efisiensi logistik, dan pemantauan di tingkat pasar—sangat penting dilakukan selama pemerintah memperbaiki mekanisme NK.