Pengamat: Pemerintah Harus Cerdas Tangani Tarif Impor AS, Jangan Emosi

Pengamat: Pemerintah Harus Cerdas Tangani Tarif Impor AS, Jangan Emosi

Tarif Tinggi Era Trump Mengguncang Perdagangan Global: Akhir dari Globalisasi Berbasis Aturan?

Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terus membayangi lanskap perdagangan global bahkan setelah masa jabatannya berakhir. Dengan pendekatan proteksionis yang mengandalkan tarif impor terhadap produk-produk utama seperti baja, aluminium, dan barang-barang elektronik dari Tiongkok dan negara-negara lain, Trump menyatakan tujuannya adalah melindungi industri domestik Amerika Serikat dan memperkecil defisit perdagangan yang selama ini dianggap merugikan ekonomi Amerika.

Namun, kebijakan ini menuai kritik luas dari kalangan ekonom dan pemimpin dunia karena dinilai merusak tatanan perdagangan bebas internasional yang selama beberapa dekade menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi global. Banyak yang melihat langkah Trump sebagai titik balik menuju era baru proteksionisme, yang berpotensi memicu ketegangan dagang berkepanjangan dan memperlambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi.

Reaksi Global: Singapura dan Negara Kecil dalam Posisi Rawan

Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong, dalam sebuah pidato yang disiarkan melalui YouTube dan dikutip oleh CNA, menyampaikan kekhawatiran mendalam atas arah baru perdagangan global ini. Ia menyatakan bahwa kebijakan tarif yang semakin agresif menandai berakhirnya era globalisasi berbasis aturan yang telah menguntungkan banyak negara, terutama ekonomi kecil dan terbuka seperti Singapura.

"Proteksionisme yang berkembang saat ini berbahaya. Negara-negara kecil tidak punya kekuatan untuk membalas kebijakan seperti itu. Ini dapat mengacaukan sistem multilateral yang selama ini menjadi penyeimbang," ujar Wong dalam pidatonya, Senin (7/4/2025).

Ia juga menambahkan bahwa negara-negara anggota ASEAN harus memperkuat integrasi ekonomi regional dan mendorong reformasi dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) agar sistem perdagangan multilateral tetap relevan dan adil.

Ekonom Indonesia: Pendekatan Trump Bertentangan dengan Prinsip Ekonomi Klasik

Dr. Adiwarman, pakar ekonomi dan hukum perdagangan internasional dari Universitas Indonesia, menilai bahwa kebijakan tarif tinggi Trump merupakan bentuk penyimpangan ideologis dari prinsip-prinsip ekonomi klasik. Menurutnya, pendekatan ini mengabaikan teori-teori seperti keunggulan komparatif milik David Ricardo dan prinsip pasar bebas ala Adam Smith.

"Pasar Amerika kini mengingkari ajaran para pelopor ekonomi klasik. Kebijakan ini tidak hanya berdampak pada negara-negara besar, tetapi juga membebani negara-negara berkembang yang mengandalkan ekspor sebagai motor pertumbuhan," ujar Adiwarman saat diwawancarai, Selasa (8/4/2025).

Ia menambahkan bahwa Indonesia perlu bersikap rasional dan berbasis data dalam menghadapi situasi ini. Dalam konteks komoditas ekspor seperti baja, karet, tekstil, dan alas kaki—semuanya rentan terhadap tarif tinggi—Indonesia harus mengedepankan kepentingan nasional saat merundingkan kebijakan dagang bilateral maupun multilateral.

Adiwarman juga menyarankan pendekatan alternatif dengan mengacu pada teori ekonomi dualistik dari J.H. Boeke. Menurutnya, Indonesia harus memperkuat baik sektor tradisional maupun sektor modern agar lebih tahan terhadap guncangan eksternal seperti perang dagang atau tarif tinggi.

Fakta Tambahan: Dampak Tarif Trump Secara Global

Sejak diberlakukannya tarif tinggi selama masa kepresidenan Trump (2017–2021), beberapa laporan menunjukkan dampak signifikan terhadap rantai pasok global dan harga konsumen di AS. Sebuah studi dari Peterson Institute for International Economics menyebutkan bahwa kebijakan tarif menyebabkan biaya tambahan sebesar $57 miliar per tahun bagi perusahaan dan konsumen AS.

Selain itu, langkah-langkah balasan dari negara-negara mitra dagang seperti Tiongkok, Uni Eropa, dan Kanada juga memperburuk hubungan dagang dan memperlambat pertumbuhan ekspor Amerika. Ketegangan ini bahkan terus berlanjut dalam bentuk kebijakan ‘Buy American’ dan reshoring industri yang diperkuat oleh pemerintahan-pemerintahan setelah Trump.

Ke Depan: Tantangan dan Strategi

Munculnya kembali proteksionisme menuntut strategi baru dalam hubungan dagang internasional. Negara-negara berkembang seperti Indonesia perlu menyeimbangkan antara keterbukaan pasar dan perlindungan sektor domestik. Ini termasuk investasi dalam teknologi, peningkatan daya saing UMKM, serta diversifikasi pasar ekspor agar tidak terlalu bergantung pada negara-negara besar seperti AS dan Tiongkok.

Langkah-langkah seperti memperluas kerja sama di bawah RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) atau memperdalam perjanjian dagang bilateral yang saling menguntungkan bisa menjadi strategi penting ke depan.