Perang Dagang AS–China: Apakah Indonesia Bisa Mendapat Untung? Begini Penjelasannya

Perang Dagang AS–China: Apakah Indonesia Bisa Mendapat Untung? Begini Penjelasannya

Peluang Strategis Indonesia di Tengah Ketegangan Tarif AS–China

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sekaligus CEO Bakrie & Brothers, Anindya N. Bakrie, menilai kebijakan Amerika Serikat yang ingin menerapkan tarif 100 % terhadap produk impor dari China tidak harus dipandang sebagai ancaman.

Sebaliknya, menurut Anindya, langkah tersebut justru bisa menjadi momentum strategis bagi Indonesia untuk memperkuat hilirisasi sumber daya mineral dan meningkatkan nilai tambah ekspor nasional.

“Saya nggak bisa bilang ini peluang dalam kesempitan. Tapi Indonesia punya mineral kritis — kalau kita cuma pakai satu saja, jangan diekspor mentah. Mau diolah setengah-setengah? Ayo. Tapi kita juga butuh nilai tambahnya,” ujar Anindya kepada wartawan setelah menghadiri Forbes Global CEO Conference di The St. Regis Jakarta, Selasa (14 Oktober 2025).


Ketegangan Dagang AS–China Meningkat

Kebijakan tarif tinggi dari AS muncul setelah Beijing memperketat ekspor unsur logam tanah jarang (rare earth), yang merupakan bahan penting bagi industri pertahanan dan semikonduktor. Langkah China tersebut menimbulkan kekhawatiran di Washington karena bisa mengganggu pasokan bahan baku untuk sektor teknologi tinggi dan energi bersih.

Sebagai respons, pemerintahan Presiden Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif impor hingga 100 % terhadap berbagai produk China mulai 1 November 2025. Namun, pejabat Amerika menegaskan bahwa keputusan akhir akan bergantung pada langkah-langkah balasan dari pihak Beijing.

Dampak dari eskalasi ini langsung terasa di pasar global. Indeks saham di Wall Street mengalami tekanan, sementara investor khawatir risiko perang dagang kembali meningkat. Rantai pasok teknologi juga mulai terguncang akibat potensi gangguan logistik dan biaya produksi yang lebih tinggi.

Kedua negara bahkan memberlakukan biaya tambahan di pelabuhan utama untuk kapal yang memuat produk dari pihak lawan. Kebijakan ini memperburuk situasi perdagangan global dan menambah ketidakpastian di sektor logistik internasional.


Momentum Hilirisasi untuk Indonesia

Anindya Bakrie menilai bahwa kondisi ini dapat menjadi peluang bagi negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia, untuk memperkuat kemandirian industrinya. Salah satu langkah paling penting adalah memastikan bahan mentah strategis diolah di dalam negeri agar menghasilkan nilai tambah yang lebih besar.

Sebagai contoh, Indonesia telah menunjukkan hasil nyata melalui kebijakan larangan ekspor nikel mentah. Dalam sepuluh tahun terakhir, nilai ekspor nikel yang diolah menjadi stainless steel melonjak dari sekitar 1 miliar dolar AS menjadi lebih dari 35 miliar dolar AS.

Anindya menegaskan bahwa strategi hilirisasi tidak hanya meningkatkan pendapatan ekspor, tetapi juga memperkuat posisi tawar Indonesia di pasar global. Karena itu, Kadin mendorong percepatan pembangunan kawasan industri yang mampu menampung investasi pengolahan mineral seperti bauksit, tembaga, seng, dan litium.

Ia juga menyebut bahwa mineral kritis dapat menjadi alat diplomasi ekonomi bagi Indonesia dalam perundingan perdagangan global. Namun, syarat utamanya adalah kemampuan negara untuk mengolah bahan tersebut di dalam negeri agar manfaat ekonominya benar-benar terasa.


Potensi Besar dan Tantangan Hilirisasi

Indonesia memiliki cadangan mineral yang sangat besar dan strategis. Beberapa di antaranya adalah:

  • Nikel: sekitar 48 % dari total cadangan global.

  • Tembaga: sekitar 28 juta ton, peringkat ke-7 dunia.

  • Kobalt: sekitar 600 ribu ton.

  • Bauksit: sekitar 1,2 miliar ton.

  • Timah: sekitar 2,8 juta ton atau 16 % cadangan dunia.

Dengan potensi sebesar itu, Indonesia berpeluang menjadi pusat rantai pasok global untuk industri baterai, kendaraan listrik, dan teknologi hijau. Namun, Anindya menegaskan bahwa keberhasilan hilirisasi bergantung pada kesiapan infrastruktur, kebijakan, dan sumber daya manusia.


Langkah Strategis yang Didorong Kadin

Anindya merinci sejumlah langkah penting yang perlu segera dilakukan untuk mempercepat industrialisasi mineral nasional:

  1. Penyederhanaan regulasi dan perizinan investasi.
    Proses birokrasi yang panjang sering kali menghambat masuknya investasi pengolahan mineral. Pemerintah perlu memberikan insentif fiskal dan kemudahan perizinan agar investor lebih tertarik.

  2. Pengembangan infrastruktur industri.
    Ketersediaan listrik, pelabuhan, dan transportasi logistik menjadi faktor utama dalam mendukung efisiensi produksi di kawasan industri mineral.

  3. Kolaborasi antara sektor publik dan swasta.
    Pemerintah bersama pelaku usaha harus mendorong transfer teknologi agar industri pengolahan mineral di Indonesia tidak hanya menjadi pusat produksi, tetapi juga pusat inovasi.

  4. Diversifikasi pasar ekspor.
    Indonesia harus mengurangi ketergantungan pada satu atau dua negara tujuan ekspor. Potensi besar juga bisa digarap di kawasan Eropa, Timur Tengah, India, dan Asia Selatan.

  5. Penerapan standar keberlanjutan (ESG).
    Industri pengolahan mineral harus memperhatikan dampak lingkungan, sosial, dan tata kelola agar produk Indonesia diterima di pasar global yang semakin peduli terhadap isu hijau.

Namun, upaya hilirisasi tidak tanpa hambatan. Beberapa tantangan yang dihadapi antara lain kebutuhan modal yang besar, keterbatasan teknologi pengolahan, serta kekhawatiran negara lain yang merasa terancam oleh kebijakan larangan ekspor bahan mentah Indonesia.


Posisi Indonesia di Tengah Perang Tarif

Ketegangan antara AS dan China bukan hal baru. Sejak 2018, kedua negara telah berulang kali terlibat perang dagang yang menyebabkan tarif impor melonjak dan rantai pasok global terganggu.

Dalam konteks 2025, ancaman tarif 100 % dari AS serta pembatasan ekspor logam tanah jarang oleh China memperbarui konflik lama dengan intensitas baru. Uni Eropa bahkan mulai berkoordinasi dengan AS untuk mengurangi ketergantungan rantai pasok terhadap China, terutama di sektor energi bersih dan teknologi tinggi.

Bagi Indonesia, dinamika global ini justru menjadi pemicu untuk mempercepat transformasi industri dalam negeri. Dengan memperkuat hilirisasi dan diversifikasi pasar, Indonesia dapat memposisikan diri sebagai pemain penting dalam rantai pasok global tanpa harus terseret langsung dalam konflik ekonomi dua kekuatan besar dunia tersebut.


Kesimpulan

Kebijakan tarif 100 % antara Amerika Serikat dan China memang menimbulkan ketidakpastian global, tetapi juga membuka ruang bagi Indonesia untuk memperkuat posisi ekonominya.

Melalui hilirisasi mineral, pembangunan kawasan industri, dan peningkatan kerja sama teknologi, Indonesia dapat memperoleh manfaat jangka panjang yang lebih besar.

Seperti ditegaskan Anindya Bakrie, hilirisasi bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang kedaulatan dan kemandirian industri nasional di tengah perubahan geopolitik dunia.