Setiap Tahun UMP Jadi Masalah, Apindo Ingatkan Banyak Aturan Pengupahan Lain Sering Diabaikan

Setiap Tahun UMP Jadi Masalah, Apindo Ingatkan Banyak Aturan Pengupahan Lain Sering Diabaikan

Apindo Nilai Perdebatan UMP Menyesatkan, Tekankan Reformasi Sistem Pengupahan yang Lebih Menyeluruh

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, menilai bahwa perdebatan publik mengenai penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) setiap tahun sering kali “menyesatkan arah kebijakan ketenagakerjaan” di Indonesia.

Menurut Bob, isu pengupahan di Indonesia hampir selalu terfokus pada besaran UMP, padahal upah minimum hanyalah satu bagian kecil dari seluruh sistem pengupahan nasional yang seharusnya dibahas secara lebih komprehensif.

UMP Bukan Satu-satunya Indikator Kesejahteraan

“Upah itu kan bukan hanya tergantung upah minimum,” ujar Bob dalam konferensi pers Indonesia Economic Outlook Apindo 2026 di Jakarta, Selasa (9/12/2025).

Ia menegaskan bahwa UMP sejatinya berfungsi sebagai jaring pengaman dasar bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Namun dalam praktiknya, UMP justru sering dianggap sebagai satu-satunya alat untuk meningkatkan kesejahteraan buruh.

Hal ini membuat perdebatan UMP setiap akhir tahun menjadi sangat panas dan kerap menimbulkan tekanan berlebihan terhadap pelaku usaha, terutama di tengah kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian.

“Yang kita bicarakan selalu upah minimum terus. Ini yang kita bilang terjadi misleading. Energi kita habis di sana, padahal banyak aspek lain yang harus diperbaiki bersama,” jelasnya.

Faktor Penting Lain yang Jarang Dibahas

Bob mengingatkan bahwa ekosistem pengupahan idealnya mencakup berbagai komponen lain yang jauh lebih menentukan peningkatan kesejahteraan pekerja secara berkelanjutan, antara lain:

  • Struktur dan skala upah yang adil dan sesuai kompetensi

  • Upah berbasis produktivitas, bukan hanya senioritas

  • Skema insentif dan bonus yang mendorong kinerja

  • Peningkatan keterampilan pekerja agar perusahaan dapat tumbuh lebih kompetitif

  • Dialog bipartit antara pekerja dan pengusaha yang lebih efektif

“Ada struktur skala upah, ada juga upah produktivitas, insentif, dan lain-lain,” tambahnya.

Menurut Bob, penekanan yang terlalu besar pada UMP menyebabkan perusahaan sulit mengembangkan sistem pengupahan internal yang lebih sehat. Pada akhirnya, hal ini dapat menghambat daya saing industri serta pertumbuhan lapangan kerja baru.


Perkembangan Terbaru: Formula UMP Masih Diperdebatkan

Belakangan ini, formula penghitungan upah minimum yang diatur dalam PP 51/2023 juga banyak dikritik oleh serikat pekerja yang menilai kenaikannya terlalu kecil karena hanya mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, pengusaha menilai formula tersebut sudah lebih realistis dan membantu menjaga stabilitas usaha, terutama bagi sektor-sektor padat karya yang paling rentan terhadap kenaikan biaya.

Beberapa provinsi juga tercatat masih menghadapi tantangan:

  • Ketimpangan antara UMP dan rata-rata kebutuhan hidup layak (KHL)

  • Perbedaan upah antarwilayah yang cukup jauh

  • Industri yang belum siap menerapkan skala upah berbasis jabatan

  • Rendahnya produktivitas nasional dibanding negara pesaing seperti Vietnam atau Thailand

Kondisi ini membuat diskusi mengenai pengupahan menjadi semakin kompleks dan membutuhkan solusi menyeluruh, bukan sekadar debat angka UMP setiap tahun.


Apindo Dorong Reformasi Pengupahan Jangka Panjang

Apindo mendorong pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk fokus pada reformasi menyeluruh, termasuk:

  • Meningkatkan kualitas SDM

  • Mendorong investasi sektor padat karya berteknologi menengah

  • Mengembangkan roadmap pengupahan yang menyesuaikan kebutuhan industri di masa depan

  • Meningkatkan produktivitas sebagai dasar utama kenaikan pendapatan pekerja

Bob menegaskan bahwa perbaikan ekosistem ketenagakerjaan harus dilakukan bersama. Upah minimum penting, tetapi bukan satu-satunya solusi.