BI Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Jadi 2,9%, Imbas Perang Dagang

BI Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Jadi 2,9%, Imbas Perang Dagang

Bank Indonesia Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global 2025, Soroti Dampak Ketegangan Perdagangan dan Risiko Resesi AS

Jakarta, 23 April 2025 – Bank Indonesia (BI) resmi menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2025 menjadi 2,9%, dari estimasi sebelumnya yang berada di angka 3,2%. Penurunan proyeksi ini tidak hanya berlaku untuk tahun depan, tetapi juga untuk tahun 2026 yang direvisi dari 3,1% menjadi 2,9%.

Revisi ini diumumkan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Rabu (23/4/2025). Perry menyatakan bahwa ketegangan perdagangan antara dua negara ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok, menjadi faktor utama yang memicu penurunan outlook tersebut. Perselisihan tarif yang semakin memanas telah menciptakan ketidakpastian yang merambat ke berbagai sektor global.

"Kami perkirakan ekonomi dunia akan melambat. Untuk tahun 2025 turun dari 3,2% menjadi 2,9%, dan untuk 2026 juga turun menjadi 2,9% dari sebelumnya 3,1%," jelas Perry.

Dampak Terbesar Dirasakan Amerika Serikat

Perry menambahkan bahwa ekonomi Amerika Serikat menjadi salah satu yang paling terdampak oleh perang tarif tersebut. Pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan akan melambat signifikan, dari 2,2% menjadi hanya 1,7% pada 2025. Bahkan, beberapa analis global kini memperkirakan kemungkinan terjadinya resesi di AS mencapai 60%, didorong oleh penurunan konsumsi rumah tangga dan penurunan investasi korporasi.

"Dampak terbesar seperti tadi kami sampaikan adalah terhadap ekonomi Amerika. Bahkan ada beberapa perhitungan ekonomi Amerika akan melambat dari 2,2% menjadi 1,7%. Bahkan beberapa pelaku pasar memprediksi probabilitas resesi di Amerika Serikat sekitar 60%," kata Perry.

Ketegangan geopolitik lainnya, termasuk konflik berkelanjutan di Timur Tengah dan ketidakpastian politik di Eropa, juga menambah beban bagi perekonomian global. Kinerja manufaktur dan perdagangan internasional menunjukkan tren penurunan dalam tiga kuartal terakhir, menurut data terbaru dari IMF dan World Bank.

Tiongkok dan Negara Berkembang Juga Terkena Imbas

Selain AS, Tiongkok juga diperkirakan akan mengalami perlambatan. Kebijakan pembalasan tarif serta upaya pemerintah Tiongkok untuk menstabilkan sektor properti yang masih tertekan turut memberikan tekanan terhadap perekonomian domestiknya. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang sebelumnya diperkirakan mencapai 4,8% pada 2025 kini direvisi menjadi 4,4%.

Negara berkembang, termasuk Indonesia, pun tidak luput dari efek domino ini. Penurunan permintaan ekspor, ketidakpastian arus modal, dan tekanan nilai tukar menjadi tantangan tambahan bagi stabilitas ekonomi domestik.

Kenaikan Inflasi dan Suku Bunga AS Menjadi Sorotan

Situasi diperburuk dengan lonjakan inflasi yang terus berlanjut di Amerika Serikat. Tekanan harga komoditas energi dan pangan menjadi faktor utama di balik kenaikan inflasi, yang pada Maret 2025 tercatat mencapai 4,3% secara tahunan (year-on-year), menurut data Biro Statistik Tenaga Kerja AS.

Hal ini berpengaruh langsung pada kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed). Sebelumnya, The Fed diproyeksikan akan menurunkan suku bunga acuan (Fed Funds Rate) dari 4,5% menjadi 4,25% pada akhir 2024. Namun dalam kondisi inflasi tinggi yang berkepanjangan, penyesuaian ini kini diperkirakan lebih agresif, dengan target akhir suku bunga menjadi 4% atau bahkan lebih rendah untuk mendorong pertumbuhan.

"Makanya prediksinya terhadap Fed Fund Rate yang semula itu diperkirakan akan menurun dari 4,5% pada tahun 2024 menjadi 4,25%, ini akan menurun menjadi 4%," ungkap Perry.

Respons BI: Waspada, Namun Optimistis

Meskipun menghadapi tekanan global, Bank Indonesia menyatakan tetap optimistis terhadap daya tahan ekonomi domestik. Perry menegaskan bahwa koordinasi kebijakan fiskal dan moneter akan terus diperkuat untuk menjaga stabilitas makroekonomi, nilai tukar, dan mengendalikan inflasi dalam sasaran 2,5±1%.

Salah satu strategi BI ke depan adalah menjaga kelancaran sistem pembayaran, memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah, serta memastikan ketersediaan likuiditas untuk sektor riil.