Kena Sanksi Tarif Impor dari AS, Indonesia Harus Segera Perbaiki Lingkungan Investasi

Kena Sanksi Tarif Impor dari AS, Indonesia Harus Segera Perbaiki Lingkungan Investasi

Dihantam Tarif Impor AS 32%, Indonesia Harus Benahi Iklim Investasi dan Diversifikasi Pasar Ekspor

Kebijakan terbaru Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang menetapkan tarif impor sebesar 32 persen terhadap seluruh produk asal Indonesia, mulai berlaku pada 1 Agustus 2025, telah memicu kekhawatiran serius di kalangan pelaku industri nasional. Tarif ini secara langsung mengancam daya saing produk-produk ekspor unggulan Indonesia di pasar AS, salah satu mitra dagang terbesar RI selama puluhan tahun.

Beberapa sektor industri yang paling terdampak adalah tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, dan furniture—tiga sektor padat karya yang selama ini sangat mengandalkan permintaan dari pasar AS. Dengan pemberlakuan tarif tinggi, harga jual produk Indonesia menjadi jauh lebih mahal di pasar Amerika, sehingga berpotensi menurunkan permintaan secara signifikan.

Ancaman PHK Massal di Industri Padat Karya

Pengamat ketenagakerjaan sekaligus Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai bahwa kebijakan tarif tinggi ini akan menekan kinerja industri padat karya secara langsung. Penurunan permintaan dari AS diprediksi akan membuat banyak perusahaan memangkas produksi demi efisiensi, yang pada akhirnya dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor manufaktur.

“Pemerintah harus fokus dan serius membuka lapangan kerja yang layak bagi rakyat Indonesia, dengan memperbaiki iklim investasi agar ramah terhadap investor,” ujar Timboel dalam keterangannya, Senin (14/7/2025).

Menurut data Kementerian Perindustrian, sektor tekstil dan alas kaki menyerap lebih dari 4 juta tenaga kerja, sebagian besar berasal dari daerah-daerah industri di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jika sektor ini terganggu secara sistemik, maka bukan hanya ekonomi industri yang terguncang, tetapi juga stabilitas sosial dan ketenagakerjaan nasional.

Mengapa AS Menaikkan Tarif Impor?

Langkah AS ini disebut sebagai bagian dari peninjauan ulang fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) serta peningkatan proteksionisme ekonomi yang tengah digalakkan oleh pemerintahan AS dalam menghadapi tekanan politik dalam negeri dan kompetisi dagang global, khususnya terhadap produk dari negara berkembang.

Dalam beberapa laporan media internasional, Indonesia dianggap belum memenuhi beberapa aspek persyaratan transparansi, hak tenaga kerja, serta akses pasar bagi produk dan jasa dari AS. Hal ini digunakan sebagai alasan oleh Washington untuk meninjau ulang tarif dagang dan preferensi yang sebelumnya diberikan.

Saatnya Diversifikasi Pasar dan Reformasi Investasi

Pukulan tarif ini menjadi wake-up call bagi Indonesia agar tidak lagi terlalu bergantung pada satu negara tujuan ekspor. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024 ekspor Indonesia ke AS mencapai USD 27,5 miliar, menjadikan AS sebagai pasar ekspor terbesar kedua setelah China.

Pemerintah kini didorong untuk memperluas akses pasar ke negara-negara lain seperti Uni Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan, sembari mengoptimalkan perjanjian perdagangan bebas yang telah disepakati seperti IA-CEPA (Indonesia-Australia) dan RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership).

Selain diversifikasi pasar, hal yang tidak kalah penting adalah pembenahan iklim investasi dalam negeri. Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan seperti regulasi yang tumpang tindih, perizinan yang rumit, serta kepastian hukum yang lemah. Hal-hal ini sering menjadi hambatan utama bagi investor asing maupun domestik.

Menurut laporan Ease of Doing Business terakhir dari Bank Dunia sebelum dihentikan, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia dalam hal kemudahan berbisnis.

Upaya Pemerintah dan Peluang Reformasi

Sebagai respons awal, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian tengah menyusun paket kebijakan insentif ekspor baru serta program perlindungan tenaga kerja di sektor terdampak. Sementara itu, Kementerian Investasi menyiapkan revisi aturan agar lebih menarik bagi investor yang ingin relokasi pabrik ke Indonesia.

Presiden Joko Widodo juga telah menginstruksikan jajarannya untuk segera menyederhanakan perizinan, menurunkan hambatan investasi, serta mempercepat pembangunan kawasan industri berbasis ekspor.

Langkah-langkah ini diharapkan tidak hanya menjadi solusi jangka pendek atas dampak tarif AS, tetapi juga sebagai momentum untuk mempercepat transformasi struktural ekonomi Indonesia menuju lebih mandiri dan tangguh menghadapi tantangan global.