Iuran BPJS Kesehatan Orang Bergaji Rp 100 Juta Ditanggung Pemerintah — Ini Alasannya Menurut Menkes

Iuran BPJS Kesehatan Orang Bergaji Rp 100 Juta Ditanggung Pemerintah — Ini Alasannya Menurut Menkes

Menko Ungkap Banyak Orang Kaya Masih Menikmati Bantuan Iuran BPJS: Gaji Rp 100 Juta Pun Dibayari Negara

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kembali menyoroti persoalan ketidaktepatan sasaran dalam program Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan. Dalam penjelasannya, ia mengungkapkan fakta mencengangkan: masih banyak warga kaya—bahkan yang bergaji hingga Rp 100 juta per bulan—yang iurannya masih ditanggung oleh pemerintah.

Temuan ini terungkap setelah dilakukan pencocokan dan sinkronisasi data dengan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN), sistem baru yang dirancang pemerintah untuk memastikan bantuan sosial tepat sasaran. DTSEN menghimpun beragam data sosial-ekonomi masyarakat, termasuk tingkat pengeluaran, pendapatan, aset, dan status kesejahteraan.


Ada 540 Ribu Orang Kaya yang Masuk Penerima Bantuan Iuran

Dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta, Kamis (13/11/2025), Budi menjelaskan bahwa sinkronisasi DTSEN menemukan 0,56% peserta PBI BPJS Kesehatan berasal dari kelompok desil 10, yakni kelompok 10% masyarakat terkaya di Indonesia.

“Begitu kita lihat datanya, ternyata ada juga orang yang masuk desil 10 tapi masih dibayari PBI-nya. Jumlahnya sekitar 0,56 persen,” ujar Budi.

Jika dihitung, angka itu mencapai lebih dari 540 ribu orang, padahal kelompok ini adalah golongan yang secara ekonomi paling mampu membayar iuran BPJS secara mandiri.


Penerima Bantuan dengan Pendapatan Rp 100 Juta? Harusnya Tidak Masuk PBI

Budi menegaskan bahwa data dalam DTSEN akan menjadi acuan penting untuk melakukan pembersihan dan pembaruan data PBI ke depan. Menurutnya, sangat tidak tepat jika orang dengan pendapatan tinggi masih menerima subsidi dari negara.

“Pendapatan Rp 100 juta sebulan ke atas itu sudah jelas masuk desil 10. Tidak mungkin orang dengan penghasilan setinggi itu masih dibayari PBI-nya,” tegas Budi.

Budi menyebut bahwa kementeriannya bersama instansi terkait akan melakukan penghapusan data bagi penerima PBI yang tidak sesuai kriteria, terutama dari kelompok desil 9 dan 10.


Penyebab Ketidaktepatan: Data Lama, Validasi Lemah, dan Perubahan Kondisi Ekonomi

Ketidaktepatan sasaran PBI ini sebenarnya bukan hal baru. Beberapa penyebab yang sering muncul antara lain:

1. Basis Data Terlalu Lama

Data penerima bantuan sering belum diperbarui selama bertahun-tahun, sehingga orang yang awalnya miskin bisa saja sudah naik kelas ekonomi.

2. Program Perlindungan Sosial yang Belum Terintegrasi Sepenuhnya

Sebelum DTSEN, berbagai kementerian menggunakan data berbeda untuk mengukur kesejahteraan.

3. Minimnya Pelaporan Perubahan Kondisi Ekonomi

Banyak masyarakat tidak melaporkan perubahan status penghasilan atau usaha, sehingga tetap tercatat sebagai penerima bantuan.


Pemerintah Siapkan Langkah Pembenahan PBI Tahun 2025–2026

Untuk memastikan bantuan PBI tepat sasaran, pemerintah menyiapkan sejumlah langkah:

  • Sinkronisasi rutin DTSEN dengan daerah setiap 6 bulan.

  • Pembersihan data peserta PBI yang masuk desil 9 dan 10.

  • Penyusunan aturan verifikasi ulang bagi peserta BPJS yang menerima bantuan.

  • Integrasi NIK (Nomor Induk Kependudukan) agar memudahkan identifikasi kondisi ekonomi melalui data perpajakan, perbankan, dan kepemilikan aset.

Selain itu, Kemenkes dan BPJS Kesehatan sedang membangun dashboard monitoring baru yang memungkinkan pemerintah daerah mengetahui kondisi penerima bantuan secara real time.


PBI Harus Kembali ke Tujuan Utamanya: Membantu yang Paling Membutuhkan

Budi menekankan bahwa PBI merupakan bentuk perlindungan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu, sehingga tidak boleh dinikmati oleh kelompok ekonomi atas.

“PBI ini tujuannya jelas: membantu masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Jadi yang pendapatannya tinggi harus keluar dari daftar penerima,” tegasnya.

Dengan adanya DTSEN dan pembaruan data secara berkala, pemerintah berharap kebocoran bantuan dapat ditekan, dan alokasi anggaran kesehatan dapat lebih tepat sasaran.