Jalan Gelap Pinjol Ilegal, Mengharap Terang Literasi Keuangan

Jalan Gelap Pinjol Ilegal, Mengharap Terang Literasi Keuangan

Teror dari Pinjol Ilegal: Ketika Utang Digital Berujung Ancaman dan Ketakutan

Dua bola matanya terbuka lebar, alisnya terangkat spontan, dan keringat dingin mulai muncul diiringi bulu kuduk yang berdiri. Begitulah ekspresi kaget Try ketika melihat layar ponselnya—sebuah nomor tak dikenal mengirim pesan berisi ancaman.

Pria berusia 28 tahun itu langsung menduga, pesan tersebut berasal dari penagih utang pinjaman online (pinjol) ilegal yang pernah ia akses sebulan sebelumnya. Ia meminjam uang atas ajakan seorang kerabat, tanpa memahami sepenuhnya sistem bunga dan tenggat pembayaran. Ia mengira, dengan menggunakan aplikasi tak resmi, bisa menghindar dari kewajiban membayar.

Namun, setelah jatuh tempo, ponselnya tidak berhenti berdering. Puluhan panggilan masuk dari berbagai nomor berbeda setiap hari.

“Adminnya menelepon terus dan meneror kontak di HP saya, bahkan mengancam akan menyebar data pribadi dan foto saya ke semua orang,” ujar Try kepada Liputan6.com, Jumat (31/10/2025).

Rasa cemas semakin menjadi ketika seorang debt collector datang langsung ke rumahnya. Ketakutan bukan hanya soal uang, tetapi juga reputasi dan keamanan keluarganya. “Saya takut keluarga saya ikut kena. Itu titik balik saya untuk berhenti sepenuhnya dari pinjol ilegal,” kata Try.

Sejak itu, ia memutuskan tidak lagi menggunakan aplikasi pinjaman apa pun dan mulai mencari solusi lain untuk memperbaiki kondisi keuangannya. “Saya sadar, yang saya lakukan salah. Saya jadi lebih hati-hati dan belajar soal literasi keuangan,” tambahnya.


Jeratan Pinjol Ilegal: Dari Desakan Ekonomi hingga Ancaman Psikologis

Kisah Try bukanlah kasus tunggal. Ribuan warga Indonesia mengalami hal serupa setiap tahun. Pinjol ilegal biasanya memanfaatkan kondisi masyarakat yang sedang membutuhkan dana cepat, menawarkan proses persetujuan instan tanpa verifikasi ketat.

Namun di balik kemudahan itu, tersembunyi bunga sangat tinggi—bahkan mencapai hingga 1.000% per tahun—dan akses bebas terhadap data pribadi pengguna, termasuk kontak, galeri, dan lokasi. Ketika nasabah gagal bayar, penagih menggunakan cara-cara kasar, seperti:

  • Ancaman penyebaran data pribadi atau foto,

  • Pelecehan verbal melalui telepon dan pesan singkat,

  • Intimidasi kepada keluarga, rekan kerja, dan atasan,

  • Bahkan kunjungan langsung oleh debt collector tanpa izin hukum.

Fenomena ini menimbulkan tekanan psikologis yang berat bagi korban. Berdasarkan laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, banyak korban pinjol ilegal mengalami stres berat, gangguan kecemasan, dan depresi akibat intimidasi tersebut.


Pejabat OJK Pun Pernah Jadi Korban

Menariknya, pengalaman serupa juga pernah dialami Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK. Tanpa sepengetahuannya, mantan sopir pribadinya mencantumkan nomor Friderica sebagai penjamin dalam pengajuan pinjaman online.

Masalah muncul ketika sopir itu gagal membayar. Sejak saat itu, Friderica menerima serangkaian pesan dan panggilan penagihan utang yang bukan miliknya. “Itu pengalaman pribadi yang membuat saya makin paham betapa berbahayanya akses data pribadi oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab,” ujarnya dalam sebuah konferensi pers OJK.

Kisah tersebut menjadi bukti bahwa siapa pun bisa menjadi korban, bahkan pejabat tinggi yang memahami sistem keuangan sekalipun.


Penindakan dan Regulasi Terbaru OJK

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa hingga Oktober 2025, lebih dari 9.800 platform pinjol ilegal telah diblokir bekerja sama dengan Kominfo dan Bareskrim Polri. Penutupan itu dilakukan karena aplikasi tersebut tidak memiliki izin resmi, memanipulasi data pengguna, dan melakukan penagihan dengan cara melanggar hukum.

OJK juga memperkuat sistem pengawasan lewat Satgas PASTI (Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal) yang menggantikan Satgas Waspada Investasi. Satgas ini memiliki mandat untuk tidak hanya menutup aplikasi ilegal, tapi juga menindak jaringan pelaku di baliknya, termasuk pihak penyebar data dan penagih utang ilegal.

Selain itu, OJK mendorong masyarakat untuk selalu mengecek legalitas pinjol melalui situs atau aplikasi “OJK Infinity” sebelum mengunduh dan menggunakan layanan keuangan digital apa pun.


Meningkatnya Kasus dan Literasi Keuangan Rendah

Menurut data terbaru Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), jumlah pengaduan masyarakat terkait pinjol ilegal meningkat sekitar 30% sepanjang 2025, seiring masih rendahnya literasi keuangan digital di masyarakat.

Banyak korban mengaku tidak tahu cara membedakan antara aplikasi resmi dan ilegal. Sebagian besar juga tergiur oleh iklan di media sosial yang menawarkan pinjaman cepat tanpa syarat.

Padahal, pinjol legal yang terdaftar di OJK wajib mematuhi batas bunga dan prosedur penagihan sesuai etika industri, termasuk larangan keras untuk mengakses kontak pribadi pengguna.


Upaya Pencegahan dan Edukasi Masyarakat

Pemerintah dan OJK kini gencar melakukan kampanye “Waspada Pinjol Ilegal” melalui media sosial, sekolah, dan komunitas lokal. Edukasi ini menekankan beberapa langkah penting:

  1. Cek Legalitas – Pastikan aplikasi terdaftar di OJK.

  2. Baca Syarat dengan Teliti – Jangan terburu-buru menyetujui akses data pribadi.

  3. Jangan Beri Izin Akses ke Kontak – Ini sering disalahgunakan untuk menagih dengan cara memalukan.

  4. Laporkan ke OJK atau Polisi – Jika mendapat ancaman atau teror dari pinjol ilegal.


Kesimpulan: Literasi Jadi Pertahanan Utama

Kisah Try dan banyak korban lainnya menunjukkan bahwa akses mudah tanpa pemahaman yang cukup bisa berujung pada penderitaan panjang. Pinjol ilegal bukan sekadar masalah utang, tapi juga masalah pelanggaran privasi, kekerasan digital, dan dampak psikologis yang serius.

Pemerintah terus berupaya menutup ruang bagi praktik keuangan ilegal ini, tetapi kunci utamanya tetap berada di tangan masyarakat. Dengan literasi digital dan keuangan yang lebih baik, masyarakat dapat lebih bijak dalam mengambil keputusan finansial—agar tidak lagi menjadi korban di tengah derasnya arus teknologi finansial.