OJK Terbitkan Aturan Baru Asuransi Kesehatan, Peserta Wajib Tanggung Biaya Klaim 10%

OJK Terbitkan Aturan Baru Asuransi Kesehatan, Peserta Wajib Tanggung Biaya Klaim 10%

OJK Terbitkan Aturan Baru Asuransi Kesehatan: Co-Payment Wajib dan Fokus pada Efisiensi Biaya

Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mengeluarkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Regulasi ini akan mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2026 dan menjadi langkah penting dalam memperkuat tata kelola industri asuransi kesehatan, meningkatkan perlindungan konsumen, serta merespons tantangan inflasi biaya layanan medis yang terus meningkat secara global.

Latar Belakang: Inflasi Medis Jadi Sorotan

Menurut data dari Mercer Marsh Benefits (MMB) Health Trends 2024, biaya perawatan kesehatan global diperkirakan meningkat rata-rata sebesar 10,1% pada 2025, jauh melampaui angka inflasi umum. Di Indonesia sendiri, inflasi medis tercatat terus naik, dipicu oleh lonjakan harga obat-obatan, peralatan medis, serta teknologi kesehatan yang semakin canggih. Kondisi ini menjadi salah satu alasan utama OJK mengambil tindakan konkret melalui regulasi terbaru ini.

Fokus pada Asuransi Kesehatan Komersial

Perlu ditegaskan, SEOJK 7/2025 hanya berlaku bagi penyelenggara produk asuransi kesehatan komersial yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi jiwa dan asuransi umum. Regulasi ini tidak mencakup program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, yang berada di bawah pengawasan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan.

OJK menekankan bahwa perusahaan asuransi wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam merancang dan menawarkan produk. Mereka juga diharuskan melakukan evaluasi berkala atas performa produk dan keberlanjutan keuangannya.

Co-Payment Wajib: Peserta Wajib Bayar Minimal 10 Persen

Salah satu poin paling krusial dalam aturan baru ini adalah penerapan co-payment wajib. Co-payment adalah skema di mana peserta asuransi harus membayar sebagian dari biaya klaim secara langsung.

Ketentuan co-payment yang diatur OJK adalah:

  • Minimal 10% dari total klaim yang diajukan oleh peserta

  • Batas maksimal beban biaya untuk peserta:

    • Rawat jalan: Rp300.000 per klaim

    • Rawat inap: Rp3.000.000 per klaim

Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah moral hazard—di mana peserta asuransi menggunakan layanan medis secara berlebihan karena merasa tidak menanggung biaya—dan mendorong penggunaan layanan kesehatan secara bijak.

Menurut Deputi Komisioner Pengawasan IKNB OJK, Kristianto Andi Handoko, co-payment ini juga diharapkan mampu menekan premi asuransi di masa depan agar tetap terjangkau bagi masyarakat luas.

Dorongan untuk Koordinasi Manfaat (Coordination of Benefit)

SEOJK 7/2025 juga mendorong adanya koordinasi manfaat (coordination of benefit) antara produk asuransi komersial dan program JKN. Hal ini penting apabila peserta memanfaatkan fasilitas yang ditanggung BPJS Kesehatan. Dengan koordinasi yang baik, tumpang tindih klaim dapat dicegah dan sistem pembiayaan layanan kesehatan dapat berjalan lebih efisien.

Koordinasi ini akan membutuhkan kolaborasi teknis antara perusahaan asuransi swasta, BPJS Kesehatan, serta penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit dan klinik. Dalam jangka panjang, hal ini diharapkan menciptakan sistem perlindungan kesehatan yang lebih terintegrasi di Indonesia.

Transparansi dan Edukasi Konsumen Jadi Fokus Tambahan

Regulasi ini juga menekankan kewajiban perusahaan asuransi untuk meningkatkan transparansi informasi kepada konsumen. Mereka harus menjelaskan secara rinci manfaat, batasan, risiko, serta mekanisme co-payment sebelum konsumen membeli produk.

Tak hanya itu, OJK juga akan meningkatkan pengawasan berbasis risiko dan digitalisasi sistem pelaporan agar potensi penyalahgunaan dan ketidaksesuaian produk dengan kebutuhan masyarakat bisa diminimalisir.

Apa Dampaknya bagi Konsumen dan Industri?

  • Bagi konsumen, aturan ini akan membantu mereka menjadi lebih sadar dan selektif dalam memilih produk asuransi kesehatan, serta mendorong perilaku penggunaan layanan kesehatan yang lebih bertanggung jawab.

  • Bagi industri asuransi, mereka dituntut untuk lebih inovatif dalam merancang produk yang efisien, transparan, dan berkelanjutan.

  • Bagi rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan, kebijakan ini mungkin akan mendorong sistem rujukan dan pengendalian biaya layanan yang lebih ketat.

Langkah Selanjutnya: Masa Transisi dan Sosialisasi

OJK memberi waktu transisi hingga akhir 2025 sebelum aturan ini mulai berlaku penuh. Selama masa ini, perusahaan asuransi diminta melakukan penyesuaian terhadap sistem IT, kontrak polis, dan pelatihan tenaga pemasar agar dapat mematuhi regulasi baru secara optimal.

Sosialisasi ke masyarakat juga akan digencarkan, termasuk melalui media sosial, webinar, serta kerja sama dengan asosiasi industri seperti AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia) dan AAUI (Asosiasi Asuransi Umum Indonesia).


Kesimpulan:

SEOJK 7/2025 menjadi langkah strategis OJK dalam menghadapi tantangan sistem kesehatan modern, terutama di tengah tekanan biaya dan kebutuhan akan layanan yang inklusif. Jika dijalankan dengan baik, regulasi ini dapat membawa manfaat jangka panjang bagi seluruh ekosistem layanan kesehatan di Indonesia.