Pengusaha Kawasan Industri Minta PPN Turun Bertahap hingga Jadi 8% pada 2028
HKI Usulkan Penurunan Bertahap Tarif PPN 2026–2028 untuk Pulihkan Konsumsi dan Gerakkan Industri Nasional
Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) menyampaikan pandangan resmi mengenai pentingnya kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam menjaga konsumsi masyarakat serta memacu pertumbuhan industri nasional. Di tengah pemulihan ekonomi yang masih melambat, HKI menilai penyesuaian PPN menjadi salah satu instrumen fiskal paling strategis untuk memperbaiki daya beli dan memacu ekspansi kawasan industri.
Usulan Penurunan PPN Bertahap: 10% (2026), 9% (2027), 8% (2028)
HKI mengajukan skema penurunan tarif PPN secara bertahap selama tiga tahun ke depan. Usulan ini dinilai realistis dan memungkinkan pemerintah menjaga stabilitas fiskal tanpa mengorbankan momentum konsumsi.
Rincian skema:
-
2026 → 10%
-
2027 → 9%
-
2028 → 8%
Menurut HKI, penurunan bertahap memberi ruang bagi pemerintah untuk menyesuaikan defisit anggaran, sambil secara simultan mendorong konsumsi rumah tangga yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia — menyumbang lebih dari 53% terhadap PDB.
Kenaikan PPN Bukan Satu-satunya Faktor, Tapi Membebani Konsumsi Industri
Ketua Umum HKI, Akhmad Ma’ruf Maulana, menjelaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 11% bukan penyebab tunggal pelemahan ekonomi. Namun, tekanan terhadap konsumsi dan permintaan industri cukup nyata.
“Kami melihat penjualan di berbagai sektor turun, investasi melambat, dan ekspansi pabrik tertunda. Tidak satu faktor saja, tetapi tarif PPN yang tinggi menambah beban dan menghambat daya beli. Dengan penurunan bertahap, keyakinan konsumen bisa pulih dan industri kembali bergerak,” kata Ma’ruf.
Menurut HKI, banyak pelaku industri kini menahan rencana ekspansi karena permintaan domestik belum stabil. Hal ini berdampak langsung pada penyerapan kawasan industri baru dan realisasi investasi manufaktur.
HKI: Dampak Penurunan PPN Tidak Bisa Dilihat Secara Statis
Perhitungan statis Kementerian Keuangan memperkirakan bahwa setiap penurunan 1% tarif PPN mengurangi penerimaan negara sekitar Rp70 triliun. Namun HKI menegaskan bahwa pendekatan ini tidak mempertimbangkan efek multiplier dari konsumsi dan aktivitas industri.
Ma’ruf menyebut bahwa negara-negara seperti Thailand, Jepang, dan Korea Selatan pernah menurunkan tarif konsumsi saat ekonomi melambat, dan efektivitasnya terlihat dari peningkatan transaksi serta pemulihan industri dalam waktu 6–18 bulan.
“Ketika tarif turun, konsumsi akan terdongkrak, volume transaksi naik, dan basis pajak menjadi lebih luas. Dalam skenario tertentu, penerimaan negara justru bisa meningkat karena aktivitas ekonomi yang lebih tinggi,” ujar Ma’ruf.
Beberapa ekonom juga menilai penurunan PPN dapat meningkatkan Consumer Confidence Index (CCI), yang dalam beberapa bulan terakhir berada pada tren melemah.
Dampak Langsung ke Industri: Kapasitas Naik, Lahan Industri Meningkat Permintaannya
HKI menekankan bahwa pemulihan permintaan domestik akan langsung memengaruhi kapasitas produksi pabrik. Ketika konsumsi membaik, industri akan:
-
menambah shift kerja,
-
meningkatkan utilisasi kapasitas produksi,
-
memperluas fasilitas,
-
mencari lahan industri baru,
-
merekrut lebih banyak tenaga kerja.
Kondisi ini akan menciptakan siklus ekonomi positif bagi kawasan industri, yang saat ini sedang gencar mengembangkan klaster baru seperti industri baterai EV, logistik terpadu, petrokimia, hingga green industrial estate.
“Tarif 10% pada 2026 akan mengembalikan stabilitas. Lalu penurunan ke 9% dan 8% pada 2027–2028 akan menjadi akselerator pertumbuhan kawasan industri. Dampaknya nyata: permintaan lahan naik, investasi baru masuk, dan kawasan industri kembali menjadi pusat pertumbuhan ekonomi,” jelas Ma’ruf.
Dikaitkan dengan Target Pertumbuhan Ekonomi 8%
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 8% dalam periode 2025–2029. HKI menilai target tersebut sangat menantang tanpa konsumsi rumah tangga yang kuat dan industri yang agresif berekspansi.
“Tidak mungkin ekonomi tumbuh 8% tanpa pemulihan konsumsi. Dan industri tidak bisa tumbuh bila pasarnya lemah. Penurunan PPN adalah kebijakan pendekatan langsung yang bisa menghidupkan dua komponen sekaligus,” tegas Ma’ruf.
Ekonom makro juga menekankan bahwa pertumbuhan di atas 6% membutuhkan reformasi fiskal yang pro-konsumsi serta perbaikan iklim investasi, terutama dalam sektor manufaktur.
Percepatan Investasi Harus Dikawal Satgas Percepatan Investasi
Selain penurunan PPN, HKI menyoroti pentingnya percepatan realisasi investasi — khususnya untuk kawasan industri prioritas di periode pemerintahan baru 2025–2029.
HKI mendorong penguatan Pokja/Satgas Percepatan Investasi untuk memastikan:
-
perizinan berjalan cepat,
-
investor strategis tidak terhambat birokrasi,
-
infrastruktur pendukung disiapkan,
-
pengembangan green industrial estate dan kawasan hilirisasi berjalan tepat waktu.
Menurut HKI, sinergi antara kebijakan fiskal (PPN), kemudahan investasi, dan percepatan pengembangan kawasan industri akan menjadi fondasi utama tercapainya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
0 Comments