Prediksi Harga Emas Hari Ini Usai Anjlok 3%, Investor Menanti Rilis Inflasi AS

Harga Emas Dunia Melemah ke USD 3.235, Tertekan Sentimen Dagang dan Penguatan Dolar AS
Harga emas dunia kembali mengalami tekanan dan diperdagangkan melemah di kisaran USD 3.235 per troy ounce pada awal sesi Asia, Selasa (13/5/2025), melanjutkan tren penurunan tajam yang terjadi sehari sebelumnya. Pada perdagangan Senin, logam mulia ini tercatat anjlok lebih dari 3% — penurunan harian terbesarnya dalam lebih dari sebulan terakhir.
Penurunan ini sebagian besar dipicu oleh membaiknya sentimen pasar global menyusul tercapainya kesepakatan perdagangan sementara antara Amerika Serikat (AS) dan China. Perjanjian tersebut disambut positif oleh pelaku pasar karena dianggap dapat meredakan ketegangan dagang yang telah membayangi ekonomi global selama beberapa tahun terakhir.
Tekanan Teknis dan Sentimen Pasar
Menurut analis dari Dupoin Futures Indonesia, Andy Nugraha, tren jangka pendek harga emas saat ini berada dalam tekanan bearish yang kuat. Ia menjelaskan bahwa pola candlestick yang terbentuk di grafik harian, jika dikombinasikan dengan indikator teknikal seperti Moving Average (MA), menunjukkan potensi lanjutan tren turun dalam waktu dekat.
“Jika tekanan jual berlanjut, harga emas berpotensi menguji level support penting berikutnya di sekitar USD 3.206 per troy ounce,” ungkap Andy. Namun, ia juga menambahkan bahwa rebound teknikal tetap memungkinkan, terutama jika terjadi perubahan mendadak dalam sentimen pasar, seperti data ekonomi yang mengecewakan atau peningkatan risiko geopolitik. “Jika terjadi pantulan, target kenaikan berada di kisaran USD 3.279,” tambahnya.
Saat ini, pasar global juga berada dalam kondisi waspada menjelang rilis data inflasi konsumen (CPI) AS untuk bulan April yang dijadwalkan pada Rabu (14/5/2025) malam waktu setempat. Data ini diperkirakan akan sangat mempengaruhi ekspektasi kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed).
“Volatilitas diperkirakan akan tetap tinggi dalam jangka pendek karena pelaku pasar masih menunggu arah kebijakan moneter AS selanjutnya,” kata Andy.
Faktor Fundamental: Dolar AS dan Imbal Hasil Obligasi
Dari sisi fundamental, harga emas juga mendapat tekanan dari menguatnya nilai tukar dolar AS serta lonjakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang sempat menyentuh level tertinggi dalam dua bulan terakhir di atas 4,5%.
Kombinasi dari kedua faktor tersebut membuat daya tarik emas sebagai aset safe haven menurun. Sebagai aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding asset), emas menjadi kurang kompetitif ketika yield obligasi naik dan dolar menguat.
Indeks dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan greenback terhadap enam mata uang utama dunia, naik mendekati level 106, mencerminkan optimisme pasar terhadap prospek pertumbuhan ekonomi AS setelah tercapainya kesepakatan dagang terbaru dengan China
Kesepakatan Dagang AS-China: Apa Implikasinya?
Dalam kesepakatan dagang sementara yang diumumkan Senin malam waktu AS, pemerintah Washington dikabarkan sepakat memangkas tarif atas sejumlah produk impor dari China, dari sebelumnya 145% menjadi 30%. Di sisi lain, pemerintah China juga menurunkan tarif bea masuk terhadap barang-barang asal AS dari 125% menjadi 10%.
Langkah ini dinilai sebagai sinyal positif bahwa ketegangan geopolitik dan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia mulai mereda, memberikan harapan baru bagi pemulihan rantai pasok global dan perdagangan internasional.
Namun, sebagian analis memperingatkan bahwa kesepakatan ini masih bersifat tentatif dan bisa berubah tergantung dinamika politik dalam negeri masing-masing negara. Beberapa isu struktural seperti hak kekayaan intelektual, transfer teknologi paksa, dan subsidi industri strategis belum terselesaikan secara tuntas.
Prospek Ke Depan
Di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global, pelaku pasar tetap akan memantau beberapa katalis penting yang dapat mempengaruhi harga emas ke depan, antara lain:
- Rilis data inflasi AS (CPI) untuk bulan April.
- Pidato para pejabat The Fed, khususnya mengenai arah suku bunga acuan.
- Ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang bisa mendorong permintaan terhadap aset safe haven.
- Pergerakan indeks dolar dan imbal hasil obligasi AS.
Secara historis, emas cenderung menguat saat inflasi tinggi, ketidakpastian meningkat, atau suku bunga riil (disesuaikan dengan inflasi) berada di wilayah negatif. Namun, saat ini, pasar tampaknya lebih fokus pada peluang penurunan suku bunga oleh The Fed yang terus menipis, seiring dengan masih kuatnya data ketenagakerjaan dan pertumbuhan AS.
0 Comments