Rupiah Berpotensi Melemah Hari Ini, Bisa Turun ke Level Tertentu

Rupiah Berpotensi Melemah Hari Ini, Bisa Turun ke Level Tertentu

Pengamat Ekonomi, Mata Uang, dan Komoditas Ibrahim Assuaibi memproyeksikan nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp16.660 hingga Rp16.690 per dolar Amerika Serikat pada penutupan perdagangan hari ini, Selasa, 16 Desember 2025. Rupiah diperkirakan bergerak fluktuatif sepanjang sesi perdagangan, namun cenderung ditutup melemah dibandingkan hari sebelumnya.

“Untuk perdagangan hari ini, pergerakan rupiah cukup fluktuatif, namun pada akhirnya ditutup melemah di rentang Rp16.660 sampai Rp16.690 per dolar AS,” ujar Ibrahim dalam keterangannya, Selasa (16/12/2025).

Sebagai perbandingan, pada penutupan perdagangan Senin (15/12/2025), nilai tukar rupiah tercatat berada di level Rp16.667 per dolar AS. Pelemahan ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap mata uang domestik masih berlanjut, meskipun pergerakannya relatif terbatas.

Ibrahim menjelaskan, pelemahan rupiah tidak hanya dipengaruhi faktor eksternal, tetapi juga dipicu oleh sentimen dari dalam negeri. Ia menilai tahun 2026 berpotensi menjadi salah satu periode paling penuh ketidakpastian dalam beberapa dekade terakhir, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun geopolitik global.

Menurutnya, persaingan antarnegara besar diperkirakan akan semakin tajam. Pergeseran aliansi global, meningkatnya tensi geopolitik, serta konflik yang sebelumnya berskala regional berisiko meluas dan berdampak pada stabilitas ekonomi dunia. Kondisi tersebut membuat pasar keuangan global cenderung lebih berhati-hati dan meningkatkan permintaan terhadap aset safe haven, yang pada akhirnya menekan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

Ia juga menyoroti pandangan berbagai lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Bank Sentral Eropa (ECB), serta Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Lembaga-lembaga tersebut memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi global ke depan akan melambat, semakin terfragmentasi, dan berada dalam fase transformasi struktural yang besar.

Perlambatan ekonomi global ini, lanjut Ibrahim, disebabkan oleh melemahnya perdagangan internasional, restrukturisasi rantai pasok global yang kini lebih menekankan aspek keamanan dibandingkan efisiensi biaya, serta tingginya beban utang publik di banyak negara yang sudah mencapai level tertinggi dalam sejarah modern.

Selain itu, perkembangan teknologi yang sangat cepat juga menjadi tantangan tersendiri, karena laju inovasi kerap melampaui kemampuan regulator dalam menyusun kebijakan dan aturan yang adaptif. Kondisi ini menciptakan ketidakpastian baru di sektor keuangan dan industri.

Ibrahim juga menyoroti valuasi aset di sejumlah negara yang dinilai berada pada posisi rentan, setelah mengalami kenaikan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Koreksi harga aset berisiko terjadi apabila sentimen pasar berubah secara drastis. Di sisi lain, sistem perbankan global dinilai belum sepenuhnya pulih, karena masih dibayangi oleh tekanan kredit bermasalah serta potensi kerugian portofolio akibat lingkungan suku bunga tinggi.

Lebih lanjut, era suku bunga tinggi yang diperkirakan bertahan lebih lama menjadi tantangan nyata bagi dunia usaha dan sektor riil menjelang 2026. Biaya pendanaan yang mahal berpotensi menekan ekspansi bisnis, menurunkan daya beli, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi domestik. Ketidakpastian sosial dan politik di berbagai kawasan dunia juga turut menambah tekanan terhadap stabilitas pasar keuangan.

Dengan kombinasi faktor-faktor tersebut, Ibrahim menilai pergerakan rupiah dalam jangka pendek masih akan dipengaruhi oleh sentimen global dan sikap kehati-hatian pelaku pasar. Meski demikian, ia menekankan pentingnya peran kebijakan pemerintah dan bank sentral dalam menjaga stabilitas ekonomi dan nilai tukar di tengah dinamika global yang penuh tantangan.