Rupiah Jadi Mata Uang Paling Lemah di Asia Pagi Ini

Rupiah Melemah di Awal Perdagangan Kamis, Menjadi Mata Uang dengan Pelemahan Terdalam di Asia
Pada Kamis pagi, 4 September 2025, nilai tukar rupiah dibuka di level Rp16.425 per US$, melemah sekitar 0,06% dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya. Pelemahan ini menjadikan rupiah sebagai mata uang paling tertekan di Asia pagi itu, meskipun sentimen pasar global tampak positif.
Sentimen Positif Global — Namun Tekanan Domestik Mengeras
Secara global, optimisme pasar didukung data lowongan kerja AS (JOLTS) yang lebih rendah dari ekspektasi, memperkuat ekspektasi bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga dalam sisa tahun ini. Mayoritas mata uang regional mencatat penguatan: dolar Taiwan naik 0,16%, baht Thailand 0,14%, peso Filipina 0,10%, ringgit Malaysia 0,09%, dan yuan Hong Kong 0,01%.
Namun, rupiah justru menonjol dalam tekanan. Hal ini dipicu oleh kekhawatiran pasar terhadap rencana “burden sharing” (berbagi beban) antara Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah, khususnya dalam pembelian Surat Berharga Negara (SBN) untuk mendukung program belanja nasional, termasuk program “Asta Cita” Presiden Prabowo Subianto.
Skema "Burden Sharing" BI — Penjelasan Kebijakan dan Fakta Terbaru
Bank Indonesia telah membenarkan kebijakan tersebut melalui pembelian SBN di pasar sekunder yang telah mencapai Rp200 triliun, termasuk Rp150 triliun melalui skema debt switching hingga akhir Agustus 2025.
Spokesperson BI, Ramdan Denny Prakoso, menegaskan bahwa skema ini dilakukan secara terukur, transparan, dan hati-hati, serta tetap menjaga kredibilitas kebijakan moneter. Lewat mekanisme ini, BI dan pemerintah berbagi beban bunga atas SBN setelah memperhitungkan bunga yang diperoleh pemerintah dari penempatan dana di perbankan domestik.
Strategi tersebut diambil dengan tujuan:
- Mengurangi biaya pendanaan pemerintah dalam kerangka program ekonomi kerakyatan.
- Tetap menjaga stabilitas moneter di tengah kebutuhan fiskal yang meningkat.
- Memberikan ruang fiskal demi mendukung pertumbuhan ekonomi, sambil meminimalkan dampak inflasi.
Imbal Hasil Obligasi dan Respons Pasar
Kebijakan ini turut memicu tekanan pada imbal hasil obligasi pemerintah, seiring investor mulai memperhitungkan kembali risiko penerbitan utang. Hal ini menambah ketidakpastian terhadap prospek stabilitas rupiah.
Namun, sejumlah analis menilai bahwa dampak terhadap likuiditas masih relatif terbatas, karena BI tidak melakukan pembelian langsung di pasar primer. Beberapa pihak bahkan menilai langkah ini dapat merangsang peningkatan suplai uang bila ditempatkan di perbankan untuk mendanai program kredit ke koperasi, yang dikenai bunga rendah.
Lebih lanjut, BI diperkirakan akan melanjutkan pelonggaran moneter ke depan dengan rencana pemangkasan suku bunga acuan hingga 50 basis poin sepanjang 2025, menambah tekanan pelonggaran setelah penurunan sebelumnya sebesar 125 bps.
Penutupan Rupiah dan Outlook Harian
Menutup perdagangan Kamis, 4 September 2025, rupiah berada di posisi Rp16.424,5 per US$, melemah sekitar 0,05% atau 9 poin dari penutupan sebelumnya. Di saat yang sama, indeks dolar AS terpantau menguat sekitar 0,14% ke level 98,27.
0 Comments