Harga Minyak Melesat Setelah Donald Trump Terapkan Sanksi Baru ke Iran

Harga Minyak Melesat Setelah Donald Trump Terapkan Sanksi Baru ke Iran

Harga Minyak Menguat Usai Sanksi Baru AS Terhadap Iran dan Kinerja Positif Perusahaan Teknologi

Harga minyak dunia kembali menunjukkan tren penguatan pada Kamis, 1 Mei 2025, dipicu oleh ketegangan geopolitik yang meningkat setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memberlakukan sanksi baru terhadap Iran. Sentimen pasar juga diperkuat oleh laporan keuangan yang solid dari perusahaan teknologi raksasa seperti Meta dan Microsoft, yang mendorong penguatan indeks saham Wall Street.

Mengutip data dari CNBC pada Jumat (2/5/2025), harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juni naik sebesar USD 1,03 atau 1,77% menjadi USD 59,24 per barel. Sementara itu, minyak Brent untuk pengiriman Juli naik USD 1,07 atau 1,75% ke level USD 62,13 per barel. Kenaikan harga ini menandai pemulihan dari tekanan jual yang terjadi awal pekan akibat kekhawatiran atas prospek pasokan global yang lebih tinggi.

Ketegangan AS-Iran Kembali Memanas

Kenaikan harga minyak sebagian besar dipicu oleh pernyataan Presiden Trump yang kembali memperketat tekanan terhadap Iran. Dalam konferensi pers, Trump menegaskan bahwa "setiap negara atau individu yang membeli minyak dan produk petrokimia dari Iran tidak akan diizinkan melakukan bisnis dengan Amerika Serikat." Langkah ini secara efektif memperluas sanksi terhadap sektor energi Iran dan menimbulkan kekhawatiran akan terganggunya pasokan minyak dari kawasan Timur Tengah.

Pemerintah Oman, yang sebelumnya menjadi tuan rumah perundingan nuklir antara AS dan Iran, mengonfirmasi bahwa putaran perundingan berikutnya yang semula dijadwalkan pada Sabtu, 3 Mei 2025, harus ditunda karena alasan logistik. Penundaan ini memicu spekulasi bahwa diplomasi antara kedua negara kembali menemui jalan buntu.

Arab Saudi dan Sikap OPEC+

Di sisi lain, pasar masih mencermati langkah Arab Saudi dan negara-negara anggota OPEC+. Menurut laporan Reuters yang mengutip sumber internal, Arab Saudi telah memberi sinyal kepada para sekutunya bahwa mereka tidak akan mengambil langkah ekstrem untuk memangkas produksi demi menopang harga. Kerajaan menyatakan siap menghadapi periode harga rendah yang berkepanjangan.

Selain itu, beberapa anggota OPEC+ berencana mengusulkan percepatan peningkatan produksi pada pertemuan mendatang. Delapan negara anggota koalisi OPEC+ dijadwalkan bertemu pada 5 Mei untuk membahas kebijakan produksi bulan Juni. Ini akan menjadi pertemuan penting kedua berturut-turut dalam upaya menyesuaikan produksi dengan permintaan global yang belum sepenuhnya pulih.

Tekanan pada Ekonomi AS dan Dampak Tarif

Dalam konteks domestik, ekonomi Amerika Serikat tercatat mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir pada kuartal pertama 2025. Data resmi yang dirilis Rabu lalu menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) AS menyusut, terutama disebabkan oleh penurunan belanja konsumen dan investasi bisnis.

Sejumlah analis menilai bahwa kebijakan tarif Presiden Trump yang tidak dapat diprediksi telah memberikan tekanan signifikan terhadap sektor manufaktur dan perdagangan. Banyak pelaku bisnis dilaporkan mempercepat impor untuk menghindari biaya tambahan dari tarif baru, yang mengakibatkan lonjakan impor dan defisit perdagangan yang lebih dalam.

Survei terbaru dari Reuters menunjukkan bahwa ketidakpastian kebijakan perdagangan AS telah meningkatkan kekhawatiran akan resesi global. Lebih dari 60% responden dalam jajak pendapat memperkirakan bahwa ekonomi global kemungkinan besar akan tergelincir ke dalam resesi pada akhir 2025, terutama jika ketegangan geopolitik dan proteksionisme terus meningkat.

Prospek Pasar Minyak ke Depan

Meskipun harga minyak menunjukkan penguatan, volatilitas diperkirakan akan tetap tinggi dalam beberapa minggu ke depan. Ketidakpastian geopolitik, dinamika produksi OPEC+, serta prospek permintaan global di tengah pelemahan ekonomi akan menjadi faktor utama yang mempengaruhi pergerakan harga.

Selain itu, pasar juga akan mencermati perkembangan terkait potensi langkah balasan dari Iran atau negara-negara sekutunya terhadap sanksi AS. Ketegangan yang meningkat di Selat Hormuz, jalur penting bagi sekitar 20% pasokan minyak dunia, dapat menjadi faktor pemicu lonjakan harga jika konflik semakin memburuk.

Dengan latar belakang yang kompleks ini, para analis menyarankan pelaku pasar untuk tetap waspada terhadap perubahan mendadak dalam kebijakan dan situasi global yang bisa memengaruhi keseimbangan pasar energi.