Ini Alasan Mengapa Bank Lambat Menurunkan Suku Bunga Kredit

Ini Alasan Mengapa Bank Lambat Menurunkan Suku Bunga Kredit

Lambatnya Penurunan Suku Bunga Kredit: Perbankan Masih Berhati-hati Meskipun BI Telah Memangkas Acuan Empat Kali

Pengamat perbankan sekaligus Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menyoroti lambatnya respons industri perbankan dalam menurunkan suku bunga kredit, meskipun Bank Indonesia (BI) telah melakukan pemangkasan suku bunga acuan sebanyak empat kali sejak awal 2025.

Menurut Prianto, langkah agresif BI menurunkan suku bunga didorong oleh proyeksi inflasi yang masih rendah pada 2025 hingga 2026, yakni di kisaran 2,5 persen plus minus 1 persen. Stabilitas nilai tukar rupiah juga menjadi faktor kunci yang membuat BI percaya bahwa kebijakan moneter longgar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

“Pemangkasan suku bunga acuan sebanyak empat kali dilatarbelakangi oleh keyakinan BI bahwa inflasi 2025-2026 diproyeksikan rendah. Kisarannya antara 2,5 persen plus minus 1 persen. Selain itu, nilai tukar rupiah diproyeksikan relatif stabil,” kata Prianto kepada Liputan6.com, Kamis (21/8/2025).

Namun, Prianto menekankan bahwa di sisi lain, keputusan BI memotong suku bunga secara agresif ternyata berbeda dengan ekspektasi pasar. Survei Bloomberg sebelumnya menunjukkan mayoritas ekonom memperkirakan suku bunga BI akan bertahan di level 5,25 persen, berbeda dengan realisasi kebijakan bank sentral.

“Perbedaan pandangan antara BI dan ekonom ini membuat perbankan berada di tengah-tengah ketidakpastian masa depan. Mereka harus berhati-hati dalam menyesuaikan suku bunga kredit agar tetap menjaga margin keuntungan sekaligus kompetitif,” ujar Prianto.

Lebih lanjut, Prianto menjelaskan bahwa lambatnya perbankan menurunkan suku bunga kredit juga dipengaruhi oleh faktor internal, termasuk biaya dana yang masih relatif tinggi dan portofolio kredit bermasalah yang harus dijaga. Bank-bank besar cenderung menunggu sinyal lebih jelas dari BI terkait tren suku bunga sebelum menyesuaikan kredit kepada nasabah.

Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juli 2025 menunjukkan rata-rata suku bunga kredit perbankan masih berada di kisaran 8,5 hingga 9 persen, meskipun BI telah menurunkan suku bunga acuan hingga 4 kali, dari 5,50 persen menjadi 4,75 persen. Perbedaan ini menunjukkan adanya “lag effect” atau keterlambatan respons bank terhadap perubahan kebijakan moneter.

Prianto menambahkan, perlambatan penurunan suku bunga kredit dapat berdampak pada konsumsi masyarakat dan pertumbuhan sektor riil, karena kredit tetap menjadi salah satu instrumen utama pembiayaan bagi usaha dan rumah tangga. “Kalau kredit tidak turun, daya beli masyarakat bisa terbatas, dan sektor UMKM juga merasa efeknya,” ujarnya.

Di sisi lain, beberapa bank sudah mulai menyesuaikan suku bunga deposito dan kredit tertentu untuk menarik nasabah baru, namun penyesuaian masih parsial dan belum menyeluruh. Hal ini menunjukkan bahwa industri perbankan masih menjaga keseimbangan antara menarik nasabah baru dan menjaga kesehatan keuangan bank.

Prianto memprediksi, jika inflasi tetap rendah dan rupiah stabil hingga akhir 2025, kemungkinan besar bank akan mulai menurunkan suku bunga kredit lebih agresif pada awal 2026, seiring dengan meningkatnya tekanan pasar untuk menyesuaikan kredit agar lebih kompetitif.

“Bank perlu strategi komunikasi yang jelas kepada nasabah agar tidak terjadi persepsi negatif soal suku bunga yang masih tinggi. Transparansi dan penyesuaian bertahap akan jadi kunci,” pungkasnya.