Ini Daftar Negara yang Kena Tarif Impor AS Lebih Besar dari Indonesia

Tarif Impor AS Naik: Indonesia Diuntungkan di Tengah Tekanan Regional
Jakarta, 7 April 2025 — Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menanggapi kebijakan tarif impor baru dari Amerika Serikat terhadap sejumlah negara Asia Tenggara. Ia menyatakan bahwa meskipun Indonesia turut terkena dampak, ada peluang strategis yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha nasional.
Dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Airlangga menjelaskan bahwa tarif bea masuk Amerika Serikat terhadap produk asal Indonesia berada pada angka 32 persen, sementara beberapa negara pesaing utama justru dikenakan tarif yang lebih tinggi.
"Negara-negara seperti Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand saat ini dikenai tarif impor yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Ini membuka peluang kompetitif bagi produk kita," ujar Airlangga.
Rincian Tarif Impor Negara ASEAN ke AS:
-
Kamboja: 49%
-
Laos: 48%
-
Vietnam: 46%
-
Myanmar: 44%
-
Thailand: 36%
-
Indonesia: 32%
-
Malaysia & Brunei Darussalam: 24%
-
Filipina: 17%
-
Singapura: 10%
Tarif-tarif ini merupakan bagian dari langkah pemerintah AS dalam menyesuaikan kebijakan dagang dan memperkuat sektor domestik mereka, terutama di bidang manufaktur. Beberapa pengamat menyebut kebijakan ini sebagai bentuk tekanan dagang terhadap negara-negara yang dinilai melakukan praktik dumping atau ketergantungan tinggi terhadap ekspor ke AS.
Sektor Terdampak dan Suara Industri
Airlangga menekankan bahwa sektor yang paling terdampak dari kebijakan tarif ini adalah industri makanan, tekstil, pakaian, dan alas kaki—sektor-sektor yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor Indonesia ke Amerika.
"Kami sudah mendengarkan masukan dari Apindo dan asosiasi industri terkait, termasuk persepatuan dan garmen. Ada kekhawatiran, tapi juga semangat untuk mencari strategi adaptasi," tambahnya.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia ke AS pada tahun 2024 mencapai USD 5,6 miliar, sedangkan sektor alas kaki mencapai USD 4,1 miliar. Dengan kondisi tarif baru, pelaku usaha diminta untuk segera menyusun strategi diversifikasi pasar dan peningkatan daya saing.
Peluang Strategis: Indonesia Lebih Kompetitif
Meski menghadapi hambatan baru, Menko Airlangga melihat peluang besar dari fakta bahwa negara pesaing seperti China, Bangladesh, Vietnam, dan Kamboja kini dikenakan tarif yang lebih tinggi dari Indonesia.
"Ini berarti produk Indonesia punya keunggulan tarif di mata importir AS. Potensi relokasi pesanan dari negara-negara tersebut ke Indonesia bisa terjadi, terutama jika kita mampu menjaga kualitas dan efisiensi produksi," ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya pemerintah dan swasta bekerja sama untuk menangkap peluang ini, termasuk dengan peningkatan kapasitas produksi dalam negeri, pemanfaatan teknologi, dan penguatan kemitraan strategis dengan buyer global.
Langkah Pemerintah ke Depan
Pemerintah akan mendorong sejumlah langkah taktis, antara lain:
-
Fasilitasi insentif bagi industri ekspor terdampak
-
Pembukaan pasar non-tradisional sebagai alternatif AS
-
Optimalisasi perjanjian dagang bilateral dan multilateral seperti IEU-CEPA dan RCEP
-
Mendorong investasi untuk peningkatan kapasitas produksi
Selain itu, Indonesia juga tengah mempersiapkan tim negosiasi untuk membuka kembali diskusi dagang dengan mitra utama seperti Amerika Serikat agar bisa memperoleh keringanan tarif atau fasilitas dagang tertentu, seperti skema Generalized System of Preferences (GSP) yang sebelumnya sempat dihentikan.
Kesimpulan: Tantangan Sekaligus Peluang
Kebijakan tarif impor AS yang lebih tinggi terhadap produk dari negara Asia Tenggara menimbulkan tantangan baru bagi Indonesia. Namun, dengan posisi tarif yang lebih rendah dibanding pesaing utama, ini bisa menjadi momentum untuk meningkatkan daya saing dan menarik relokasi pasar ekspor. Pemerintah pun diminta bergerak cepat untuk mendukung industri dalam menavigasi lanskap dagang global yang semakin kompleks.
0 Comments