Moratorium Pengiriman PMI ke Timur Tengah Dicabut, RI Bakal Kebanjiran Devisa Rp 400 Triliun per Tahun

Kadin Desak Pemerintah Cabut Moratorium Pengiriman PMI ke Timur Tengah, Potensi Devisa Capai Ratusan Triliun
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI), Nofel Saleh Hilabi, kembali menegaskan pentingnya pemerintah segera mencabut moratorium pengiriman PMI ke kawasan Timur Tengah. Ia menilai kebijakan moratorium yang diberlakukan sejak beberapa tahun terakhir telah membawa dampak ekonomi yang signifikan, tidak hanya bagi negara namun juga bagi masa depan jutaan pekerja migran dan keluarganya.
"Pasar kerja di Timur Tengah merupakan salah satu destinasi terbesar bagi PMI dan memiliki potensi yang sangat besar untuk mendukung kesejahteraan pekerja serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Jika moratorium ini terus diberlakukan, negara berisiko kehilangan potensi devisa yang bisa mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya," ujar Nofel dalam keterangannya pada Rabu (16/4/2025).
Dampak Moratorium: Devisa Menguap, Pengangguran Meningkat
Nofel menjelaskan bahwa kebijakan moratorium pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah telah memicu efek domino terhadap perekonomian. Salah satu dampak utama adalah hilangnya pemasukan negara dari remitansi atau pengiriman uang PMI kepada keluarganya di Indonesia. Selain itu, overkapasitas pengangguran juga menjadi isu serius akibat terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di dalam negeri yang disebabkan oleh resesi ekonomi global.
“Padahal, salah satu solusi jangka pendek dan menengah untuk mengurangi tekanan pengangguran nasional adalah dengan membuka kembali pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, terutama ke negara-negara Timur Tengah yang memiliki permintaan tinggi terhadap tenaga kerja Indonesia, baik sektor informal maupun tenaga terampil,” kata Nofel.
Potensi Devisa Raksasa Jika Moratorium Dicabut
Menurut Nofel, jika pemerintah mencabut moratorium, potensi devisa dari pengiriman PMI ke Timur Tengah dapat mencapai hingga Rp400 triliun per tahun. Ia memproyeksikan bahwa pengiriman sekitar 600 ribu PMI per tahun saja sudah mampu menghasilkan devisa sekitar Rp48,6 triliun, angka yang sangat signifikan dalam mendukung target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sebesar 7–8% per tahun.
“Negara-negara di kawasan Timur Tengah seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Kuwait masih sangat terbuka dan memiliki permintaan tinggi terhadap pekerja migran Indonesia, khususnya untuk sektor perhotelan, kesehatan, konstruksi, dan jasa rumah tangga,” lanjutnya.
Tertinggal dari Negara ASEAN
Indonesia, menurut Nofel, juga semakin tertinggal dari negara-negara tetangga dalam hal pengiriman pekerja migran. Ia menyebutkan bahwa Filipina dan Vietnam kini menjadi dua negara ASEAN yang paling sukses menyalurkan tenaga kerjanya ke luar negeri secara legal dan sistematis.
Berdasarkan data tahun 2024:
-
Filipina berhasil mengirimkan 2,1 juta PMI dan mencatat devisa sebesar USD 36,1 miliar, dengan proporsi pekerja terampil mencapai 68%.
-
Vietnam mengirim 1,8 juta PMI dengan total devisa sebesar USD 29,4 miliar, dan 72% di antaranya merupakan tenaga kerja terampil.
Sementara itu, Indonesia masih tertahan pada moratorium untuk sejumlah negara di Timur Tengah, sehingga peluang untuk mendulang devisa sebesar negara-negara tersebut belum maksimal.
Isu Perlindungan PMI Masih Jadi Sorotan
Meski desakan pencabutan moratorium terus menguat, pemerintah masih mempertimbangkan berbagai faktor, terutama menyangkut perlindungan dan kesejahteraan PMI di negara tujuan. Kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap PMI di masa lalu menjadi alasan utama diberlakukannya moratorium.
Namun, Nofel menilai bahwa dengan kemajuan sistem penempatan dan perlindungan PMI saat ini, termasuk digitalisasi pengawasan, kerja sama G to G (government to government), serta keberadaan sistem One Channel Placement (OCP), risiko yang sebelumnya menjadi alasan utama moratorium dapat ditekan secara signifikan.
Dorongan Kadin: Perkuat Regulasi, Bukan Larangan
Kadin Indonesia mendesak pemerintah untuk tidak hanya fokus pada pelarangan semata, melainkan memperkuat regulasi, perlindungan hukum, dan pengawasan di lapangan. Dengan cara ini, pengiriman tenaga kerja bisa tetap berjalan namun dalam kerangka yang aman, legal, dan menguntungkan semua pihak.
“Jika kita terus membatasi diri, negara lain akan mengambil alih peluang yang seharusnya menjadi milik Indonesia. Sudah waktunya kita menjadi pemain utama, bukan sekadar penonton dalam pasar tenaga kerja global,” tegas Nofel
0 Comments