Janji Manis Trump ke Suriah Berubah Jadi Tarif Tertinggi di Dunia, Ini Kisahnya

Trump Kenakan Tarif Tertinggi di Dunia ke Suriah, Padahal Janji Cabut Sanksi pada Mei
Pada bulan Mei 2025, saat berpidato di Ritz-Carlton Riyadh dalam KTT Investasi Global, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengejutkan banyak pihak. Dalam pidatonya yang disiarkan luas, Trump mengumumkan niat untuk mencabut sepenuhnya sanksi terhadap Suriah, negara yang telah terperosok dalam konflik selama lebih dari satu dekade.
"Sekarang saatnya mereka bersinar. Semoga Suriah beruntung," ujar Trump disambut tepuk tangan para pemimpin kawasan.
Namun, hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan, arah kebijakan tersebut berbalik 180 derajat. Pemerintahan Trump justru menjatuhkan tarif tertinggi di dunia terhadap Suriah, yaitu sebesar 41%, dalam kebijakan tarif dagang terbaru yang diumumkan awal Agustus.
Volume Perdagangan Kecil, Tapi Dikenakan Tarif Super Tinggi
Meski hubungan dagang antara AS dan Suriah relatif kecil karena sanksi yang telah berlangsung selama beberapa dekade, data dari Observatory of Economic Complexity (OEC) mencatat bahwa pada tahun 2023, Suriah masih mengekspor barang senilai USD 11,3 juta ke Amerika Serikat dan mengimpor sekitar USD 1,29 juta dari Negeri Paman Sam.
Dengan kata lain, AS mengalami defisit perdagangan kecil dengan Suriah. Namun di bawah kebijakan dagang baru Trump, negara-negara dengan defisit perdagangan terhadap AS menjadi sasaran tarif tinggi, tanpa melihat latar belakang ekonomi atau situasi politik masing-masing negara.
Kebijakan ini menimbulkan tanda tanya di kalangan pengamat global, mengingat Suriah bukanlah mitra dagang utama AS dan saat ini tengah dalam masa transisi pasca-konflik.
Negara Hancur, Butuh Investasi — Bukan Hukuman
Berbagai analis mengecam kebijakan tarif ini sebagai kontraproduktif. Suriah saat ini sangat bergantung pada investasi asing untuk membangun kembali infrastruktur, layanan publik, dan ekonomi yang hancur akibat konflik berkepanjangan.
“Setelah bertahun-tahun dilanda perang saudara yang menghancurkan, negara ini sangat membutuhkan investasi asing langsung yang substansial, bukan penambahan beban dagang,” ujar Giorgio Cafiero, CEO Gulf State Analytics.
Menurutnya, langkah Washington tersebut akan semakin mempersempit peluang pemulihan ekonomi Suriah, terlebih setelah adanya sinyal positif dari beberapa negara Barat yang mulai melonggarkan sebagian sanksi, termasuk dari Inggris dan Uni Eropa.
Selain itu, beberapa proyek kemanusiaan yang didukung oleh lembaga donor internasional juga bisa terdampak jika biaya logistik dan ekspor barang ke Suriah ikut meningkat akibat kebijakan tarif ini.
Motif Politik atau Ekonomi?
Hingga saat ini, Presiden Trump belum memberikan pernyataan langsung terkait penerapan tarif terhadap Suriah. Namun sejumlah pengamat menduga keputusan ini dilatarbelakangi oleh tekanan politik domestik menjelang Pemilu Presiden AS 2026, di mana Trump berusaha mempertahankan citra keras terhadap negara-negara yang dianggap “merugikan” AS dalam neraca perdagangan.
Namun, pendekatan ini dinilai mengabaikan kompleksitas geopolitik dan bisa berdampak buruk terhadap stabilitas kawasan Timur Tengah.
“Kebijakan ini tampak lebih simbolis ketimbang substansial. Dampak ekonominya terhadap AS sangat kecil, namun efeknya terhadap Suriah bisa besar,” ujar Mira Resnick, analis kebijakan luar negeri di Council on Foreign Relations (CFR).
Suriah di Tengah Ketidakpastian Baru
Saat ini, Suriah tengah berusaha menata ulang sistem politik dalam negeri usai perjanjian damai internal yang ditandatangani awal tahun 2025. Meski Presiden Bashar al-Assad masih berkuasa, sejumlah reformasi telah dimulai, termasuk pembentukan parlemen transisi dan upaya rekonsiliasi nasional.
Namun ketidakpastian akibat kebijakan luar negeri seperti tarif ini bisa menghambat keterlibatan investor asing, terutama dari negara-negara Barat yang sebelumnya mulai membuka kembali jalur diplomatik dengan Damaskus.
Kesimpulan: Isyarat Buruk Bagi Diplomasi dan Pemulihan
Keputusan untuk mengenakan tarif tertinggi di dunia kepada Suriah memperlihatkan arah kebijakan luar negeri AS yang semakin tidak dapat diprediksi di bawah Trump. Langkah ini bukan hanya menggagalkan janji sendiri, tetapi juga memperkuat kesan bahwa kebijakan ekonomi AS kini lebih didorong oleh logika politik domestik ketimbang strategi diplomasi internasional.
Bagi Suriah, yang sedang dalam masa pemulihan pasca-perang, tarif ini bisa menjadi batu sandungan besar dalam membangun kembali kehidupan warganya dan menjalin kembali hubungan ekonomi dengan dunia luar.
0 Comments