Jurus Prabowo Hadapi Tarif Trump, Indonesia Bakal Tingkatkan Impor Produk AS

Jurus Prabowo Hadapi Tarif Trump, Indonesia Bakal Tingkatkan Impor Produk AS

Indonesia Siap Tingkatkan Impor Produk AS sebagai Strategi Diplomasi Ekonomi, Fokus pada Sektor Pertanian dan Energi

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memberikan arahan strategis terkait respons Indonesia terhadap kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang kini kembali ramai diperbincangkan menjelang pemilu presiden AS 2024. Salah satu langkah diplomasi ekonomi yang diambil adalah meningkatkan volume impor produk dari Amerika Serikat, khususnya di sektor-sektor yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

Airlangga mengungkapkan bahwa peningkatan impor akan difokuskan pada komoditas pertanian seperti kedelai (soybean) dan gandum (wheat). Kedua bahan pangan tersebut merupakan kebutuhan pokok dalam industri pangan nasional, namun Indonesia sangat bergantung pada impor karena keterbatasan lahan dan iklim yang tidak mendukung produksi lokal dalam skala besar.

“Arahan Bapak Presiden Prabowo adalah untuk meningkatkan impor produk-produk dari Amerika Serikat, khususnya produk agrikultur yang tidak kita hasilkan di dalam negeri seperti kedelai dan gandum. Ini juga secara strategis berasal dari wilayah-wilayah konstituen Partai Republik, yang saat ini memiliki pengaruh signifikan dalam kebijakan luar negeri AS,” kata Airlangga dalam acara Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI: Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Nasional di Menara Mandiri, Jakarta Selatan, Selasa (8/4/2025).

Impor dari Wilayah Strategis di AS

Wilayah penghasil utama kedelai dan gandum di AS seperti Iowa, Kansas, dan Nebraska merupakan basis pendukung Partai Republik. Dengan meningkatkan impor dari wilayah tersebut, Indonesia berharap dapat membangun relasi yang lebih konstruktif dengan pemerintahan AS yang akan datang, terlepas dari siapa yang memenangi pemilu November 2024.

Kebijakan ini juga dapat dibaca sebagai bagian dari strategi geopolitik Indonesia dalam menjaga hubungan baik dengan negara-negara mitra utama di tengah ketegangan global dan perang dagang yang kembali memanas antara AS dan Tiongkok. Dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia aktif mengambil posisi netral dan adaptif dalam hubungan dagang internasional.

Perluasan ke Sektor Energi dan Produk Rekayasa

Tak hanya terbatas pada produk pertanian, pemerintah juga mempertimbangkan pembelian produk rekayasa teknik (engineering product), serta energi seperti Liquefied Petroleum Gas (LPG) dan Liquefied Natural Gas (LNG) dari Amerika Serikat. Hal ini sejalan dengan upaya Indonesia untuk diversifikasi sumber energi dan mengamankan pasokan energi jangka panjang.

“Selain produk agrikultur, kita juga akan meningkatkan pembelian produk engineering dan energi. Setelah pembicaraan dengan Menteri ESDM, kita siap untuk meningkatkan impor LPG dan LNG dari AS,” tambah Airlangga.

Namun, dia memastikan bahwa peningkatan impor ini tidak akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah akan menggunakan skema realokasi atau switching, yaitu memindahkan sumber pembelian dari negara lain ke Amerika Serikat tanpa menambah beban fiskal negara.

“Penting untuk dicatat bahwa skema ini tidak menambah pembelanjaan baru dalam APBN. Ini adalah strategi pengalihan sumber pembelian, bukan penambahan anggaran,” tegasnya.

Memperkuat Hubungan Bilateral dan Ketahanan Ekonomi Nasional

Langkah ini dinilai sebagai bagian dari strategi jangka panjang pemerintah dalam memperkuat ketahanan ekonomi nasional melalui hubungan dagang yang lebih erat dengan mitra global utama seperti Amerika Serikat. Selain itu, langkah ini juga berpotensi membuka pintu negosiasi yang lebih luas, termasuk terkait akses pasar bagi produk ekspor unggulan Indonesia seperti karet, kopi, nikel olahan, dan tekstil.

Di sisi lain, beberapa pengamat ekonomi menyarankan agar pemerintah tetap memperhatikan keseimbangan neraca perdagangan dan tidak bergantung pada satu negara mitra. Diperlukan kebijakan komprehensif untuk menjaga kedaulatan pangan dan energi dalam jangka panjang, termasuk penguatan produksi dalam negeri melalui hilirisasi dan inovasi teknologi.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2024, nilai impor kedelai Indonesia mencapai USD 2,1 miliar, sebagian besar berasal dari AS. Dengan skema peningkatan impor ini, angka tersebut diperkirakan akan meningkat pada 2025. Sementara itu, impor LNG dari AS masih relatif kecil dibandingkan dengan negara-negara seperti Australia dan Qatar, sehingga peluang kerja sama masih terbuka lebar.