Pengusaha Minta Pemerintah Tunda Kenaikan Pungutan Ekspor CPO

Pengusaha Minta Pemerintah Tunda Kenaikan Pungutan Ekspor CPO

Gapki Soroti Kenaikan Pungutan Ekspor CPO: Industri Sawit Nasional Terancam Kehilangan Daya Saing

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyuarakan kekhawatiran atas kebijakan terbaru pemerintah yang menaikkan tarif pungutan ekspor untuk produk minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Kenaikan tarif ini dinilai akan memperberat beban pelaku industri dan melemahkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar global, terutama di tengah tekanan harga yang masih berlangsung.

Ketua Umum Gapki, Eddy Martono, menyampaikan bahwa kondisi pasar CPO dunia saat ini belum stabil, ditambah dengan fluktuasi permintaan dari negara-negara utama tujuan ekspor seperti India, Tiongkok, dan Uni Eropa. Menurutnya, kebijakan kenaikan pungutan ekspor justru dapat memperburuk posisi Indonesia sebagai produsen sawit terbesar dunia.

“Sebaiknya kenaikan PE (pungutan ekspor) ini ditunda terlebih dahulu menunggu situasi membaik,” ujar Eddy saat dikonfirmasi Liputan6.com pada Sabtu (17/5/2025). Ia menambahkan bahwa pelaku industri sawit telah menghadapi berbagai tantangan mulai dari penurunan harga CPO internasional, biaya logistik yang tinggi, hingga sentimen negatif terkait isu lingkungan di pasar global.

Rincian Kenaikan Pungutan Ekspor

Kenaikan tarif pungutan ekspor tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30 Tahun 2025. Regulasi yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini diundangkan pada 14 Mei 2025 dan resmi berlaku mulai 17 Mei 2025.

Berikut rincian kenaikan tarif berdasarkan beleid tersebut:

  • CPO (crude palm oil): dari 7,5% menjadi 10%
  • Crude palm olein: dari 6% menjadi 9,5%
  • Produk refined seperti RBD (refined bleached deodorized) palm olein: dari 4,5% menjadi 7,5%

Dampak Terhadap Ekspor dan Petani

Kenaikan pungutan ini berpotensi menekan margin keuntungan eksportir dan menurunkan harga jual di tingkat petani. Beberapa analis memperkirakan bahwa kebijakan ini akan mengurangi volume ekspor sawit Indonesia, terutama ke negara-negara yang sensitif terhadap harga.

“Pungutan yang lebih tinggi otomatis mengurangi insentif ekspor. Jika harga global tidak naik, pelaku industri bisa mengurangi pembelian TBS (tandan buah segar) dari petani atau menurunkan harganya,” jelas analis komoditas dari LPEM UI, Rizky Aditya.

Di sisi lain, pelaku industri khawatir bahwa Malaysia, sebagai pesaing utama dalam pasar sawit global, justru akan diuntungkan karena struktur pungutannya yang saat ini lebih ringan.

Alasan Pemerintah

Pemerintah berdalih bahwa peningkatan tarif pungutan ekspor ini diperlukan untuk menjaga keberlanjutan program subsidi bahan bakar nabati (BBN) dan mendukung pengembangan industri hilir sawit nasional. Dana dari pungutan ekspor ini sebagian besar dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mendanai program biodiesel B35 dan B40, serta mendukung replanting kebun sawit rakyat.

Dalam keterangan tertulisnya, Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan nilai tambah produk sawit dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah.

Namun, kalangan pengusaha meminta agar pemerintah lebih fleksibel dalam menerapkan kebijakan fiskal, khususnya di sektor strategis seperti kelapa sawit.

Prospek dan Harapan

Dalam jangka pendek, pelaku industri meminta adanya mekanisme evaluasi berkala terhadap tarif pungutan ekspor agar bisa menyesuaikan dengan dinamika pasar global. Gapki juga berharap pemerintah dapat menyediakan insentif lain untuk meringankan beban produsen sawit nasional, seperti pengurangan pajak ekspor atau subsidi transportasi.

“Kalau memang pungutan tetap naik, sebaiknya ada bentuk insentif lain. Kalau tidak, dikhawatirkan ekspor kita justru turun dan pasar bisa diambil negara lain,” pungkas Eddy Martono.

Sementara itu, beberapa pihak mendorong agar Indonesia memperkuat penetrasi pasar non-tradisional seperti Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tengah sebagai strategi diversifikasi pasar ekspor di tengah dinamika kebijakan global dan persaingan regional