Reindustrialisasi Bisa Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Reindustrialisasi Bisa Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Reindustrialisasi Jadi Kunci Dorong Pertumbuhan Ekonomi dan Keluar dari Middle Income Trap

Tangerang, 5 Juli 2025 — Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, menegaskan bahwa reindustrialisasi merupakan strategi utama atau game changer yang diyakini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan. Pernyataan ini disampaikan dalam Seminar Nasional Persatuan Insinyur Indonesia (PII) yang mengangkat tema Outlook Industrialisasi Indonesia di ICE BSD, Tangerang.

“Kita di Bappenas menganggap reindustrialisasi adalah game changer untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga kita bisa tumbuh. Dengan pertumbuhan itu, kita ingin lepas dari middle of income trap,” ujar Rachmat.

Deindustrialisasi Jadi Tantangan Besar

Namun, Rachmat mengingatkan bahwa upaya reindustrialisasi tidak bisa dilakukan secara instan. Indonesia saat ini masih menghadapi gejala deindustrialisasi dini (premature deindustrialization), yaitu kondisi ketika sektor industri melemah sebelum negara mencapai tingkat pendapatan tinggi. Menurutnya, kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini stagnan di kisaran 19%, jauh menurun dibandingkan masa sebelum krisis moneter Asia 1997-1998, di mana kontribusinya sempat menyentuh 25%-28%.

“Jadi kita ingin supaya kontribusi sektor industri terhadap PDB meningkat terus. Tidak hanya di atas 20 persen, tapi kalau bisa jauh lebih tinggi,” tegas Rachmat.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan masih menjadi penyumbang PDB terbesar, namun pertumbuhannya kalah cepat dibanding sektor jasa. Hal ini membuat struktur ekonomi Indonesia bergeser terlalu cepat menjadi negara berbasis konsumsi dan jasa, padahal belum memiliki basis industri kuat.

Rendahnya Kualitas Tenaga Kerja Menghambat Transformasi

Salah satu penyebab mandeknya transformasi industri adalah rendahnya kualitas tenaga kerja. Rachmat mengungkapkan bahwa pergeseran jenis pekerjaan di Indonesia justru menunjukkan penurunan kualitas dari pekerjaan berupah tinggi ke pekerjaan informal berpendapatan rendah.

“Kenapa? Karena tenaga kerja kita umumnya unskilled, tidak terdidik, tidak terampil,” jelasnya.

Hingga tahun 2024, data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sekitar 58% tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan SMP ke bawah, dan kurang dari 15% yang memiliki keterampilan sesuai kebutuhan industri 4.0. Hal ini menyebabkan banyak industri lebih memilih melakukan otomatisasi atau memindahkan fasilitas produksinya ke negara lain yang lebih kompetitif.

Langkah Strategis Pemerintah Dorong Reindustrialisasi

Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah melalui Bappenas tengah menyiapkan beberapa langkah strategis, antara lain:

  1. Reformasi Pendidikan Vokasi dan Politeknik Industri: Pemerintah akan meningkatkan kolaborasi dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) agar lulusan pendidikan vokasi benar-benar siap kerja dan sesuai kebutuhan teknologi terkini.

  2. Penguatan Industri Prioritas: Pemerintah telah menetapkan beberapa sektor industri prioritas yang akan menjadi fokus reindustrialisasi, seperti industri elektronik, kimia, kendaraan listrik, dan manufaktur komponen.

  3. Infrastruktur dan Kawasan Industri Hijau: Pembangunan dan revitalisasi kawasan industri yang ramah lingkungan (green industrial park) seperti di Kalimantan Utara dan Batang, Jawa Tengah, menjadi bagian dari rencana besar mendukung industri berkelanjutan.

  4. Insentif dan Deregulasi: Penyusunan kebijakan fiskal dan insentif pajak bagi investor industri strategis, serta perbaikan regulasi agar lebih ramah terhadap pelaku industri dalam negeri maupun asing.

Momentum Pasca-Pemilu 2024 dan Arah Pemerintahan Baru

Reindustrialisasi juga menjadi salah satu agenda utama pemerintahan baru pasca Pemilu 2024. Presiden terpilih telah menyatakan komitmen untuk melanjutkan dan memperkuat agenda hilirisasi, transformasi industri, dan digitalisasi manufaktur sebagai fondasi ekonomi Indonesia di masa depan.

Komitmen ini sejalan dengan target Indonesia Emas 2045, di mana Indonesia diharapkan masuk ke jajaran negara berpendapatan tinggi dengan struktur ekonomi berbasis nilai tambah dan inovasi.


Kesimpulan

Reindustrialisasi tidak hanya soal membangun pabrik baru, tetapi juga menyangkut pembangunan manusia, teknologi, infrastruktur, dan kebijakan yang mendukung. Dengan mengatasi deindustrialisasi dan memperkuat sektor manufaktur, Indonesia memiliki peluang besar untuk tumbuh lebih cepat dan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).

Namun, semua itu memerlukan kerja kolektif dari pemerintah, pelaku industri, akademisi, dan masyarakat agar transformasi industri benar-benar menjadi kenyataan.