Tarif Trump Bikin Pabrik Nikel di Sejumlah Negara Kewalahan, Indonesia Masih Aman?

Tarif Trump Bikin Pabrik Nikel di Sejumlah Negara Kewalahan, Indonesia Masih Aman?

Kebijakan Tarif Tinggi AS Guncang Industri Nikel Global, Indonesia Siapkan Strategi Bertahan

Kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) mulai memberikan dampak signifikan terhadap industri nikel global. Industri ini kini berada di bawah tekanan berat, terutama di negara-negara penghasil utama seperti Filipina dan Australia, yang menghadapi gangguan produksi hingga penutupan pabrik akibat anjloknya permintaan global.

Kebijakan proteksionis yang digalakkan oleh Presiden AS Donald Trump, khususnya pengenaan tarif sebesar 32% untuk produk nikel dan turunannya, telah menimbulkan kekhawatiran di berbagai negara. Tarif tersebut diterapkan dalam rangka melindungi industri logam domestik AS, namun justru menekan daya saing eksportir dari luar negeri.

Filipina dan Australia Terpukul

Dua negara penghasil nikel terbesar setelah Indonesia, yakni Filipina dan Australia, dilaporkan mengalami tekanan luar biasa. Sejumlah pabrik nikel di kedua negara terpaksa menghentikan operasional karena tingginya biaya produksi yang tidak sebanding dengan harga jual nikel di pasar global yang terus menurun. Selain itu, turunnya permintaan dari pasar utama seperti AS dan Tiongkok turut memperburuk kondisi.

Menurut data terbaru dari International Nickel Study Group (INSG), harga nikel dunia mengalami penurunan lebih dari 18% sepanjang kuartal pertama 2025, salah satunya disebabkan oleh ketidakpastian kebijakan perdagangan dan perlambatan industri kendaraan listrik (EV) yang sebelumnya menjadi pendorong utama permintaan nikel.

MIND ID Siapkan Strategi Efisiensi

Menanggapi situasi global yang tak menentu, Holding Industri Pertambangan Indonesia, MIND ID, telah mengambil langkah antisipatif. Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID, Dilo Seno Widagdo, menyampaikan bahwa perusahaan telah menerapkan strategi efisiensi biaya sebagai langkah utama untuk menjaga daya saing.

“Kami telah menginstruksikan semua entitas di bawah MIND ID untuk memastikan agar biaya produksi tetap efisien, bahkan harus lebih rendah dari harga jual rata-rata (average selling price). Ini kunci agar kita tetap bertahan dan bahkan bisa ambil peluang ketika kompetitor sedang lemah,” ungkap Dilo dalam acara Ngobrol Eksklusif di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Kamis (17/4/2025).

Ia menambahkan bahwa situasi yang dialami oleh Filipina dan Australia menjadi pelajaran penting. “Kalau enggak die, Filipina mati, pabrik nikelnya. Australia mati pabrik nikelnya. Karena harganya sekarang turun, sementara biaya mereka tinggi. Kalau kami di MIND ID sudah antisipasi itu sejak awal,” katanya.

Dampak Tarif AS terhadap Ekspor Indonesia

Meskipun Indonesia juga terkena dampak dari tarif 32% yang diterapkan AS, Dilo menegaskan bahwa tidak semua komoditas tambang terkena secara merata. Ia menyebutkan bahwa MIND ID telah melakukan pendekatan regulasi dan diplomasi dagang sebelum kebijakan tersebut diumumkan resmi oleh pemerintahan Trump.

“32% itu enggak bisa dipukul rata. Artinya apa? Gue sudah mencoba memulai advokasi regulasi, sebelum Pakde Trump itu ngomongin,” pungkas Dilo.

Upaya Diversifikasi Pasar

Dalam menghadapi tantangan pasar AS, Indonesia kini memperkuat penetrasi ke pasar non-tradisional seperti India, Eropa Timur, dan negara-negara Afrika yang tengah mengembangkan industri baterai dan energi hijau. Selain itu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM dan Kementerian Perdagangan juga tengah menjajaki perjanjian perdagangan bilateral baru yang dapat mengurangi hambatan ekspor, termasuk tarif.

Investasi Hilirisasi Tetap Berjalan

Meski tekanan eksternal meningkat, Indonesia tetap melanjutkan agenda hilirisasi mineral. Proyek pembangunan smelter nikel di Sulawesi dan Maluku terus berjalan. Data Kementerian Investasi mencatat, hingga Maret 2025, terdapat lebih dari 10 proyek smelter nikel yang sedang dalam tahap konstruksi dengan total nilai investasi mencapai USD 12,4 miliar.

Hilirisasi diharapkan mampu memperkuat posisi Indonesia tidak hanya sebagai pemasok bahan mentah, tetapi juga sebagai pemain utama dalam rantai pasok global industri baterai kendaraan listrik.