USD to IDR Sore Ini Melemah Sentuh 16.455

Rupiah Melemah di Tengah Ketidakpastian Global dan Ketegangan Dagang AS-Tiongkok
Nilai tukar rupiah kembali menunjukkan pelemahan di tengah dinamika global yang terus dibayangi ketidakpastian geopolitik dan ekonomi. Pada penutupan perdagangan Senin (5/5/2025), rupiah ditutup melemah 17 poin ke posisi Rp16.455 per dolar AS di pasar spot. Sementara itu, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dirilis Bank Indonesia justru mencatat penguatan rupiah ke level Rp16.421 per dolar AS.
Perbedaan antara kurs spot dan JISDOR ini mencerminkan fluktuasi yang tinggi dalam pasar valuta asing domestik, dipicu oleh sentimen global yang masih sangat sensitif terhadap isu-isu eksternal, terutama perkembangan hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Ketegangan Dagang AS-Tiongkok Kembali Membayangi
Menurut Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuabi, tekanan terhadap rupiah sebagian besar dipicu oleh belum meredanya tensi dagang antara dua negara ekonomi terbesar di dunia tersebut. Dalam wawancara dengan ANTARA, Ibrahim menyebutkan bahwa pernyataan terbaru Presiden AS Donald Trump yang menegaskan tidak memiliki rencana untuk melakukan dialog langsung dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, memperburuk persepsi pasar terhadap stabilitas hubungan kedua negara.
“Meski Trump juga menyatakan bahwa jalur komunikasi tetap terbuka dan bahkan menyebut sedang mempersiapkan perjanjian dagang dengan sejumlah negara lain, arah kebijakan AS terhadap Tiongkok masih belum menunjukkan kejelasan. Ketidakpastian inilah yang terus menekan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah,” jelasnya.
Ketegangan ini diperburuk dengan masih berlarut-larutnya konflik tarif antara kedua negara, yang belum menemukan solusi konkret sejak gelombang perang dagang kembali mencuat pada awal tahun 2025. Pemerintah Tiongkok dalam pernyataan resmi pekan lalu menyatakan bahwa negosiasi lebih lanjut hanya dapat dilakukan jika AS menunjukkan itikad baik dan mencabut kebijakan tarif sepihak yang selama ini diberlakukan.
Dampak pada Pasar dan Langkah Bank Sentral
Ketidakpastian global ini turut memperbesar volatilitas di pasar keuangan, khususnya di negara berkembang yang memiliki ketergantungan terhadap arus modal asing. Rupiah, sebagai salah satu mata uang Asia yang paling likuid, cenderung menjadi indikator awal respons pasar terhadap dinamika eksternal tersebut.
Bank Indonesia (BI) hingga saat ini terus melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar, termasuk intervensi ganda melalui pasar valas dan obligasi, serta menjaga suku bunga kebijakan pada level yang tetap kondusif bagi pertumbuhan. Namun, tantangan dari sisi eksternal membuat ruang gerak bank sentral relatif terbatas.
Menurut data terbaru dari BI, cadangan devisa Indonesia per akhir April 2025 tercatat sebesar USD 137,1 miliar, sedikit menurun dibanding bulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa BI memang telah aktif melakukan stabilisasi pasar dalam beberapa pekan terakhir.
Faktor Lain yang Mempengaruhi
Selain isu dagang, pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh penguatan dolar AS secara global. Indeks dolar (DXY) naik ke level tertinggi dalam dua bulan terakhir, didorong oleh ekspektasi bahwa The Fed kemungkinan besar akan menunda pemangkasan suku bunga acuan hingga kuartal ketiga tahun ini, seiring dengan masih kuatnya data ketenagakerjaan dan inflasi di Amerika Serikat.
Di sisi lain, harga minyak mentah dunia juga mengalami lonjakan akibat ketegangan geopolitik di Timur Tengah, yang dapat menambah tekanan terhadap neraca perdagangan negara-negara importir energi seperti Indonesia. Harga minyak Brent sempat menyentuh USD 91 per barel pada perdagangan pagi ini, sebelum turun tipis di sesi sore.
Prospek Ke Depan
Analis memperkirakan rupiah akan tetap berada dalam tekanan dalam jangka pendek, terutama jika tidak ada sinyal positif dari hubungan dagang AS-Tiongkok atau kejelasan arah kebijakan suku bunga global. Namun demikian, fundamental ekonomi Indonesia yang relatif kuat, seperti inflasi yang masih terjaga dan pertumbuhan PDB kuartal I-2025 yang mencapai 5,1%, diharapkan dapat memberikan bantalan terhadap pelemahan yang lebih dalam.
“Ke depan, pasar akan mencermati pidato lanjutan dari pejabat The Fed serta perkembangan hubungan diplomatik antara AS dan Tiongkok. Pelaku pasar juga menunggu data inflasi Indonesia yang akan dirilis pekan ini, untuk melihat apakah ada ruang bagi Bank Indonesia menyesuaikan kebijakan moneternya,” ujar Ibrahim.
0 Comments