Cukai Rokok Tak Naik pada 2026, Industri Tembakau Tetap Kuat

Cukai Rokok Tak Naik pada 2026, Industri Tembakau Tetap Kuat

Kebijakan “Moratorium Cukai” 2026: Upaya Menyeimbangkan Industri dan Kesehatan Publik

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah menetapkan bahwa cukai hasil tembakau (CHT) tidak akan dinaikkan pada tahun 2026. Keputusan ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah ingin menjaga daya tahan industri hasil tembakau (IHT) sekaligus menciptakan stabilitas di tengah tantangan yang dihadapi sektor tersebut.

Latar Belakang: Pola Kenaikan Cukai Rokok 2020–2025

Dalam lima tahun terakhir, tarif cukai rokok di Indonesia secara konsisten mengalami kenaikan antara 10–12 persen per tahun. Kebijakan tersebut memang dirancang untuk mengendalikan konsumsi tembakau dan menggenjot penerimaan negara, tetapi di sisi lain, tekanan terhadap pelaku industri semakin berat — terutama bagi produsen kecil dan petani tembakau.

Menurut pengamat kebijakan ekosistem tembakau, Hananto Wibisono, penahanan tarif cukai menjadi momen berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. “Keputusan Menteri Keuangan untuk tidak menaikkan cukai rokok pada tahun 2026 merupakan langkah strategis dalam menjaga keberlanjutan ekosistem tembakau,” ujarnya. Ia menilai bahwa stabilitas cukai dibutuhkan agar beban terhadap petani, pekerja pabrik, dan pelinting tidak semakin berat.

Alasan Pemerintah: Perlindungan Industri dan Tenaga Kerja

Beberapa argumentasi kunci yang dikemukakan pihak pemerintah dan para pelaku industri:

  1. Menjaga daya tahan IHT. Industri hasil tembakau menyerap sekitar 6 juta tenaga kerja, mulai dari petani, buruh pabrik, perintis/usaha mikro, hingga pedagang kecil. Tanpa stabilitas cukai, beban biaya produksi bisa mendorong efisiensi ekstrem — misalnya pengurangan tenaga kerja atau penutupan unit produksi.

  2. Menekan peredaran rokok ilegal. Kenaikan cukai yang terlalu tajam berisiko mendorong pelaku usaha beralih ke produksi ilegal. Pemerintah menyadari bahwa memerangi rokok ilegal sama pentingnya dengan mengatur cukai.
    Salah satu kebijakan yang disampaikan adalah pembangunan kawasan industri khusus untuk produsen yang selama ini beroperasi ilegal agar dapat dilegalkan dan diawasi secara resmi. Menteri Purbaya juga menegaskan bahwa pihaknya tidak hanya mengandalkan penindakan, tetapi juga pembinaan dan pengembangan kawasan IHT di daerah yang sering menjadi pusat industri ilegal.

  3. Stimulasi inovasi produk. Dengan beban cukai yang tidak naik, produsen memiliki ruang yang relatif lebih leluasa untuk mengembangkan produk baru — misalnya rokok yang kandungan nikotinnya lebih rendah, tanpa harus membebani harga terlalu tinggi.

  4. Keseimbangan antara tujuan kesehatan dan ekonomi. Pemerintah menyadari bahwa aspek kesehatan tetap harus diperhatikan, namun kebijakan publik tidak bisa terlalu ekstrem sehingga menghancurkan sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja besar.

Dukungan dan Respons dari Berbagai Pihak

  • Ketua umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Henry Najoan, menyambut positif keputusan moratorium cukai tersebut, dengan alasan bahwa industri kretek memiliki kontribusi strategis terhadap ekonomi nasional. Ia menekankan bahwa negara perlu hadir untuk melindungi pekerja dan pelaku usaha agar tidak kehilangan mata pencaharian.

  • Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza menyebut bahwa industri IHT saat ini tengah “tertekan,” dengan tingkat utilisasi pabrik rokok berada pada kisaran 60–70 persen. Menurutnya, stabilisasi cukai memberikan kelegaan sementara dan memungkinkan industri konsolidasi.

  • Beberapa ekonom menganggap keputusan ini sebagai “angin segar”. Salah satu analis menyebut bahwa penahanan kenaikan cukai “benar” karena menaikkan tarif terlalu tinggi bisa memperburuk keadaan industri di tengah tren konsumsi yang menurun.

Risiko dan Tantangan yang Harus Dikelola

Meskipun moratorium kenaikan cukai memberikan ruang gerak, sejumlah tantangan tetap mengintai:

  • Kenaikan tekanan terhadap penerimaan negara. Salah satu fungsi cukai adalah sebagai sumber penerimaan. Menahan kenaikan mengurangi potensi tambahan penerimaan yang biasanya muncul dari cukai. Pemerintah harus memastikan bahwa aspek kekurangan penerimaan ini bisa ditutupi dari sumber lain atau efisiensi belanja.

  • Preseden dan ekspektasi sektor lain. Kebijakan serupa bisa mendorong kelompok usaha sektoral lain untuk meminta moratorium serupa, yang berpotensi membebani fiskal.

  • Risiko konsumsi tinggi. Tanpa kenaikan cukai, potensi konsumsi rokok tetap tinggi, terutama di segmen masyarakat dengan daya beli rendah. Pemerintah tetap harus menjamin bahwa regulasi non-fiskal (misalnya pembatasan iklan, edukasi kesehatan) berjalan seiring.

  • Legalitas dan pengawasan produksi. Jika usaha ilegal tidak diberi insentif legalisasi atau sanksi tegas, moratorium cukai bisa justru memperkuat posisi pelaku ilegal. Pemerintah menyadari hal ini dan telah mensinyalir penguatan pengawasan pelabuhan dan Bea Cukai sebagai bagian dari strategi.

Data Terbaru dan Dampak Nyata

  • Kontribusi Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2024 tercatat senilai Rp 216,9 triliun. Ini menunjukkan bahwa meskipun kenaikan cukai ditahan, sektor tembakau tetap menjadi penyumbang penting bagi APBN.

  • Nilai ekspor produk tembakau pada 2024 tercatat USD 1,85 miliar, meningkat sekitar 21,71 persen dibanding tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa peluang pasar luar negeri masih terbuka lebar bagi IHT Indonesia.

  • Produksi rokok di Indonesia menurun dari 348,1 miliar batang (2015) menjadi 318,15 miliar batang (2023). Penurunan ini dipicu oleh regulasi, kampanye kesehatan, dan persaingan dengan produk ilegal.

  • Studi lain menunjukkan bahwa sebagian besar rokok ilegal yang dikonsumsi berada di harga di bawah Rp 1.000 per batang (sekitar 55,3 persen). Hal ini menunjukkan bahwa pasar produk murah tetap menjadi target konsumen segmen bawah.

Langkah Pemerintah Selanjutnya: Menuju Ekosistem Tembakau yang Sehat dan Adil

Beberapa langkah strategis yang kini tengah digagas atau sudah mulai dijalankan:

  1. Pembangunan kawasan industri rokok khusus (LIK-IHT). Tujuannya agar usaha kecil yang selama ini bergerak ilegal dapat “dipindahkan” ke jalur legal.

  2. Pengawasan impor dan pelabuhan. Bea dan Cukai diperkuat untuk mencegah masuknya rokok ilegal dari luar negeri.

  3. Pembiayaan bagi produsen kecil. Pemerintah meninjau mekanisme pembiayaan atau penjaminan agar produsen kecil lebih mudah masuk jalur legal.

  4. Pengetatan regulasi non-fiskal. Regulasi iklan rokok terus diperkuat agar promosi rokok tidak menjangkau anak dan remaja.

  5. Dialog inklusif dengan stakeholder. Pemerintah mendorong dialog terbuka antara regulator, produsen rokok, petani, akademisi, serta organisasi kesehatan untuk merumuskan kebijakan yang seimbang.

Penutup

Keputusan menahan kenaikan cukai rokok pada 2026 oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bisa dilihat sebagai “moratorium fiskal” yang bertujuan memberi ruang bagi industri hasil tembakau untuk bernapas. Dalam konteks yang penuh tekanan—dari regulasi kesehatan, persaingan ilegal, hingga dinamika ekonomi global — langkah ini memiliki potensi sebagai titik rekalibrasi. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada bagaimana pemerintah menyeimbangkan aspek pengendalian konsumsi, perlindungan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan negara, serta penegakan hukum terhadap produksi ilegal.