Petani Sawit Minta Menkeu Purbaya Tinjau Ulang Pajak dan Biaya Ekspor

Petani Sawit Desak Menkeu Tinjau Ulang Pajak dan Pungutan Ekspor Sawit
Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin, mendesak Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, untuk segera meninjau ulang kebijakan pajak dan pungutan ekspor sawit. Menurutnya, aturan tersebut selama ini justru membebani kehidupan sekitar 3,5 juta petani kelapa sawit yang menopang 14 juta jiwa keluarga petani di seluruh Indonesia.
“Petani sawit saat ini menghadapi tekanan ekonomi yang berat. Harga pupuk dan bahan pangan semakin mahal, sementara harga jual Tandan Buah Segar (TBS) justru rendah karena terdistorsi oleh Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE) yang dikenakan pada ekspor Crude Palm Oil (CPO),” kata Sabarudin, Jumat (3/10/2025).
Dana Sawit Lebih Banyak untuk Biodiesel
Sabarudin menyoroti bahwa sejak adanya perubahan aturan pungutan sawit pada 2015, sebagian besar dana pungutan yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak langsung menyentuh kebutuhan petani. Ia menegaskan, 90% dana pungutan justru dialokasikan untuk subsidi biodiesel, yang hanya menguntungkan perusahaan besar pemilik pabrik biodiesel.
“Padahal tujuan awal dana pungutan sawit adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mendukung peremajaan sawit rakyat (PSR). Namun kenyataannya, dana ini lebih banyak dipakai untuk menopang program biodiesel,” ujarnya.
Menurut SPKS, setiap kenaikan 1% Pungutan Ekspor dapat menekan harga TBS sebesar Rp300–Rp500 per kilogram di tingkat petani. Kondisi ini membuat banyak petani kehilangan margin keuntungan dan kesulitan menutup biaya produksi.
Subsidi Biodiesel Membengkak
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini mengumumkan tambahan alokasi subsidi biodiesel B40 sebesar Rp16 triliun untuk tahun 2025, dengan prediksi kebutuhan dana subsidi mencapai Rp67 triliun. SPKS menilai bahwa insentif ini hanya menguntungkan sektor Public Service Obligation (PSO), sementara petani kecil tidak merasakan manfaat langsung.
“Dimana keadilan bagi petani kelapa sawit? Jika dana PE hanya dipergunakan untuk subsidi biodiesel, sementara petani masih tersandera kenaikan harga makanan dan pupuk,” tegas Sabarudin.
Tantangan Petani Sawit Rakyat
Selain masalah pungutan, petani sawit rakyat juga menghadapi sejumlah tantangan lain, antara lain:
- Biaya produksi meningkat akibat harga pupuk dan pestisida impor yang naik.
- Akses ke pembiayaan sulit, sehingga banyak petani tidak bisa melakukan peremajaan sawit.
- Standar sertifikasi berkelanjutan (ISPO/RSPO) yang belum sepenuhnya mampu dipenuhi petani kecil karena biaya dan prosedur yang rumit.
- Harga TBS sangat fluktuatif, bergantung pada kebijakan global dan pasar CPO internasional.
Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan, ekspor CPO Indonesia mencapai 32 juta ton pada 2024 dengan nilai lebih dari US$25 miliar. Namun, kontribusi nyata terhadap kesejahteraan petani kecil masih jauh dari harapan.
Respons Pemerintah dan Harapan Petani
Pemerintah sebelumnya beralasan bahwa pungutan ekspor sawit penting untuk mendukung kebijakan energi terbarukan melalui program biodiesel, yang juga berfungsi mengurangi impor BBM fosil. Namun, kritik terus menguat karena kebijakan tersebut dianggap lebih berpihak kepada perusahaan besar daripada jutaan petani kecil
SPKS berharap Menteri Keuangan dapat menyeimbangkan alokasi dana sawit agar lebih banyak masuk ke program pemberdayaan petani, seperti peremajaan sawit rakyat, akses pupuk bersubsidi, peningkatan infrastruktur perkebunan, serta bantuan teknis untuk peningkatan produktivitas.
“Kalau kebijakan ini tidak diubah, maka petani kecil akan terus menjadi pihak yang paling dirugikan, sementara industri besar semakin diuntungkan,” pungkas Sabarudin.
0 Comments