Ekonom: BSU Rp 600 Ribu Stimulus yang Terlambat

Pemerintah Gulirkan BSU Rp600.000 untuk 17,3 Juta Pekerja: Efektif Atasi Tekanan Ekonomi?
Jakarta, 17 Juni 2025 — Pada pekan kedua bulan Juni 2025, Pemerintah Indonesia melalui BPJS Ketenagakerjaan mengumumkan rencana penyaluran Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp600.000 untuk periode Juni–Juli. Program ini ditujukan kepada sekitar 17,3 juta pekerja formal di seluruh Indonesia sebagai bentuk stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat yang terdampak tekanan ekonomi pasca-pandemi dan inflasi global yang masih terasa.
Target dan Mekanisme Penyaluran
BSU 2025 menyasar pekerja formal dengan penghasilan maksimal Rp3,5 juta per bulan dan telah terdaftar aktif sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah memastikan bahwa proses penyaluran dilakukan secara bertahap melalui rekening bank yang telah divalidasi oleh BPJS.
Pemerintah menegaskan bahwa dana BSU akan cair secara langsung ke rekening penerima tanpa perantara, guna meminimalisasi risiko penyelewengan dan keterlambatan. Adapun pendataan dilakukan menggunakan sistem padanan data antara BPJS Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Keuangan.
Kritik dan Tantangan di Lapangan
Namun, kebijakan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk dari Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat. Dalam wawancara dengan Liputan6.com, ia menyampaikan bahwa meskipun bantuan ini terdengar megah secara politis, tantangan implementasi di lapangan tidak bisa diabaikan.
“Pertanyaan mendasar muncul: apakah BSU ini benar-benar menyentuh mereka yang paling membutuhkan, atau hanya menjadi populis fiskal yang terlambat (too late, too little) untuk mengatasi tekanan biaya hidup yang kian membebani?” ujar Achmad pada Selasa (17/6/2025).
Ia menyoroti bahwa persyaratan administratif yang cukup rumit bisa menjadi penghalang bagi banyak pekerja sektor informal atau pekerja upah rendah yang belum tercatat resmi sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan.
Apakah Bantuan Ini Efektif?
Menurut Achmad, BSU seharusnya dirancang lebih responsif terhadap realitas sosial ekonomi masyarakat pekerja. Dengan terus melonjaknya harga kebutuhan pokok, kenaikan tarif listrik, serta harga BBM yang mulai merangkak naik sejak kuartal pertama 2025, bantuan tunai semacam ini hanya akan berdampak positif jika tepat sasaran dan cepat disalurkan.
Ia mengibaratkan BSU seperti bahan bakar tambahan bagi sepeda motor yang hampir kehabisan bensin. Tanpa bahan bakar tersebut, perjalanan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah akan berhenti di tengah jalan. Namun, jika bahan bakar diberikan terlambat, kendaraan pun tak akan sempat sampai tujuan.
Pembelajaran dari Program Sebelumnya
BSU sebenarnya bukan hal baru. Pada masa pandemi COVID-19 tahun 2020–2022, program serupa telah beberapa kali digulirkan. Saat itu, bantuan berhasil membantu menjaga daya beli jutaan pekerja. Namun, evaluasi pasca-pandemi menunjukkan bahwa pelaksanaan program tersebut masih menghadapi berbagai masalah, mulai dari data ganda, keterlambatan penyaluran, hingga ketidaktepatan sasaran.
Pemerintah kini mengklaim telah meningkatkan sistem verifikasi dan validasi data untuk BSU 2025. Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan bekerja sama dengan Kominfo dan Disdukcapil untuk integrasi data secara real time agar tidak ada penerima ganda atau fiktif.
Rekomendasi: BSU Harus Dibuat Lebih Adaptif
Sejumlah ekonom dan aktivis buruh menyarankan agar BSU tidak hanya diposisikan sebagai solusi jangka pendek, tetapi sebagai bagian dari strategi ekonomi berkelanjutan. Salah satunya adalah mengaitkan program ini dengan pelatihan vokasi, peningkatan skill digital, atau subsidi transportasi dan sembako.
Selain itu, peningkatan transparansi dan partisipasi publik dalam proses pengawasan juga sangat penting agar program ini benar-benar memberikan manfaat nyata.
Penutup
Program BSU Rp600.000 yang digulirkan pemerintah memang menjadi angin segar bagi sebagian pekerja, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Namun, efektivitasnya akan sangat bergantung pada pelaksanaan di lapangan: apakah tepat sasaran, cepat, dan tanpa diskriminasi administratif.
Dalam menghadapi kompleksitas tantangan sosial ekonomi saat ini, diperlukan kebijakan yang tidak hanya populis, tetapi berkelanjutan, akuntabel, dan inklusif.
0 Comments