Harga Minyak Dunia Terjun Bebas, Ekonomi Terancam Resesi Tahun Ini

Harga Minyak Dunia Merosot Lebih dari 2% Akibat Kekhawatiran OPEC+ dan Dampak Perang Dagang AS-Tiongkok
Harga minyak mentah global mengalami penurunan tajam pada hari Selasa (waktu AS) atau Rabu (waktu Jakarta), seiring meningkatnya kekhawatiran investor terhadap prospek produksi OPEC+ dan ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang belum mereda. Ketidakpastian ini diperparah oleh kebijakan tarif Presiden AS saat itu, Donald Trump, yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi global dan menekan permintaan energi, khususnya minyak.
Menurut laporan CNBC, Rabu (30/4/2025), harga minyak mentah Brent turun sebesar USD 1,61 atau 2,44%, ditutup pada USD 64,25 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) turun sebesar USD 1,63 atau 2,63%, menjadi USD 60,42 per barel. Ini menandai penurunan harian terbesar dalam lebih dari sebulan terakhir.
Faktor Tekanan Harga Minyak
Salah satu faktor utama yang menekan harga adalah spekulasi menjelang pertemuan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+), yang diperkirakan akan mempertimbangkan peningkatan produksi mulai kuartal kedua 2025. Langkah ini ditujukan untuk merespons ketatnya pasokan akibat gangguan dari konflik geopolitik dan cuaca ekstrem di kawasan Timur Tengah dan Afrika.
Namun, peningkatan produksi justru dapat menyebabkan surplus pasokan jika permintaan global tidak cukup kuat untuk menyerapnya. Hal inilah yang dikhawatirkan pelaku pasar, terlebih dengan bayang-bayang perlambatan ekonomi dunia akibat perang dagang AS-Tiongkok.
Perang Dagang dan Dampaknya
Konflik dagang yang berkepanjangan antara dua ekonomi terbesar dunia telah memasuki fase kritis. Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump memberlakukan tarif agresif terhadap berbagai produk impor, termasuk baja, aluminium, dan barang-barang teknologi tinggi dari Tiongkok. Sebagai balasan, Tiongkok mengenakan tarif balasan terhadap sejumlah produk AS, termasuk kedelai, kendaraan, dan barang konsumsi lainnya.
Kondisi ini telah mendorong banyak analis dan ekonom menurunkan proyeksi permintaan minyak dunia. Dalam survei terbaru yang dilakukan oleh Reuters, mayoritas ekonom memperkirakan risiko resesi global meningkat signifikan tahun ini jika tidak ada kesepakatan dagang antara AS dan Tiongkok.
“Perdagangan antara Tiongkok dan AS telah melambat menjadi aliran tipe semi-embargo,” ujar Bob Yawger, Direktur Energi Berjangka di Mizuho. “Setiap hari yang berlalu tanpa kesepakatan membawa kita semakin dekat ke krisis permintaan energi global.”
Dampak Domestik di AS
Data terbaru menunjukkan defisit perdagangan barang AS mencapai rekor tertinggi pada bulan Maret, karena perusahaan-perusahaan bergegas mengimpor barang sebelum tarif baru diberlakukan. Situasi ini menjadi beban tambahan bagi pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal pertama 2025.
Dampak perang dagang juga dirasakan di dunia usaha. Raksasa logistik UPS mengumumkan akan memangkas sekitar 20.000 pekerjaan dalam upaya efisiensi biaya. Sementara itu, General Motors menarik proyeksi kinerjanya untuk tahun ini sambil menunggu kepastian dari kebijakan perdagangan baru.
Merespons tekanan dari pelaku industri, Presiden Trump akhirnya melunakkan kebijakan tarif untuk sektor otomotif melalui perintah eksekutif. Kebijakan tersebut memberikan pengecualian tarif untuk sejumlah komponen kendaraan dan bahan mentah, setelah desakan kuat dari asosiasi produsen mobil domestik.
Pandangan Analis dan Outlook
Beberapa analis memperingatkan bahwa jika ketegangan geopolitik dan ketidakpastian ekonomi global terus berlanjut, harga minyak bisa turun lebih jauh. Namun, sebagian lainnya melihat peluang pemulihan harga jika ada terobosan dalam negosiasi dagang dan OPEC+ memutuskan untuk menahan diri dari peningkatan produksi yang agresif.
Dalam jangka pendek, volatilitas harga minyak diperkirakan masih akan tinggi, terutama menjelang rilis data stok minyak mingguan dari Badan Informasi Energi AS (EIA) dan hasil pertemuan OPEC+.
Sementara itu, pelaku pasar juga mencermati dinamika di Ukraina dan Timur Tengah yang berpotensi mengganggu pasokan energi global. Ketegangan antara Iran dan Israel yang meningkat dalam beberapa pekan terakhir menjadi faktor risiko geopolitik tambahan bagi pasar minyak.
0 Comments