Sri Mulyani: Kebijakan Tarif Trump Bakal Bikin Permintaan Minyak Dunia Menciut

Gejolak Global Tekan Harga Minyak, Sri Mulyani Ungkap Dampaknya ke APBN 2025
Jakarta, 30 April 2025 – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa ketegangan geopolitik global yang meningkat sejak awal tahun ini telah memberikan tekanan besar terhadap permintaan minyak dunia, yang pada akhirnya berdampak pada pergerakan harga minyak mentah internasional. Hal ini menjadi salah satu tantangan utama dalam menjaga stabilitas fiskal dan realisasi asumsi dasar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Sri Mulyani menyatakan bahwa saat penyusunan APBN 2025 bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya Komisi VII yang membidangi sektor energi, pemerintah menetapkan asumsi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) sebesar USD 82 per barel. Angka ini tidak berubah dari asumsi dalam APBN 2024 dan disusun berdasarkan proyeksi optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi global.
“Melihat supply-demand waktu itu, suasana dunia masih lebih optimis, dengan proyeksi pertumbuhan global di atas 3 persen. Maka kita asumsikan harga minyak mentah bisa bertahan di level USD 82 per barel,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Rabu (30/4/2025).
Namun, kondisi global sejak awal tahun menunjukkan arah yang berbeda jauh dari harapan. Ketegangan geopolitik yang meluas, termasuk konflik bersenjata yang tak kunjung mereda di Timur Tengah, ketegangan berkepanjangan di Suriah, serta eskalasi konflik militer antara Rusia dan Ukraina, turut menciptakan ketidakpastian di pasar energi global.
Tak hanya itu, kebijakan ekonomi proteksionis yang kembali digaungkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump – yang terpilih kembali pada Pilpres 2024 – menambah tekanan terhadap pemulihan ekonomi global. Kebijakan tarif balasan (reciprocal tariffs) terhadap mitra dagang utama seperti China dan Uni Eropa memicu kekhawatiran akan gelombang perang dagang baru.
“Semua dinamika ini memberikan pengaruh besar terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global yang cenderung melemah. Ketika ekonomi global melambat, maka permintaan terhadap energi—termasuk minyak—juga ikut turun,” jelas Sri Mulyani.
Harga Minyak Anjlok, Proyeksi Ekonomi Dunia Direvisi
Data terbaru dari International Energy Agency (IEA) dan OPEC menunjukkan bahwa permintaan minyak global pada kuartal pertama 2025 tumbuh di bawah ekspektasi, dengan revisi pertumbuhan permintaan hanya sekitar 0,9 juta barel per hari, jauh lebih rendah dibandingkan proyeksi awal yang mencapai 1,4 juta barel per hari.
Akibatnya, harga minyak mentah dunia mengalami tren penurunan signifikan. Per akhir April 2025, harga minyak jenis Brent tercatat di kisaran USD 76 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) berada pada level USD 73 per barel. Harga ini lebih rendah dari asumsi APBN Indonesia dan berpotensi memengaruhi pendapatan negara dari sektor migas.
Di sisi lain, Dana Moneter Internasional (IMF) baru-baru ini memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 dari 3,1 persen menjadi 2,6 persen, mengutip ketegangan geopolitik, volatilitas pasar keuangan, serta melambatnya perdagangan internasional sebagai penyebab utamanya.
Dampak Langsung ke Fiskal dan Kebijakan Energi Nasional
Menurut Sri Mulyani, ketidakstabilan harga minyak dan melemahnya permintaan global akan berdampak pada berbagai aspek dalam APBN, terutama penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi (migas), yang menjadi salah satu penopang utama pendapatan negara.
“Kita perlu melakukan penyesuaian dalam pengelolaan fiskal agar tetap responsif terhadap dinamika global. Pemerintah akan terus memantau pergerakan harga minyak dan dampaknya terhadap APBN,” ujarnya.
Pemerintah juga tengah menyiapkan beberapa skenario alternatif untuk mengantisipasi potensi defisit atau penyesuaian belanja negara jika harga ICP terus berada di bawah asumsi. Salah satunya adalah optimalisasi penerimaan pajak non-migas dan efisiensi belanja subsidi energi.
Sementara itu, Kementerian ESDM bersama Pertamina juga tengah mengevaluasi ulang proyeksi lifting migas nasional dan skema subsidi energi agar tetap sesuai dengan kondisi pasar terbaru.
Penutup
Gejolak geopolitik dan tekanan ekonomi global menjadi pengingat bahwa penyusunan kebijakan fiskal nasional harus senantiasa adaptif. Pemerintah kini dituntut untuk terus menjaga keseimbangan antara pertumbuhan, stabilitas fiskal, dan perlindungan sosial di tengah ketidakpastian dunia.
“Fleksibilitas dan kehati-hatian adalah kunci dalam menghadapi kondisi global yang terus berubah,” pungkas Sri Mulyani.
0 Comments