Pedagang Sayur hingga Bakso Kini Kebagian Jatah Rumah Subsidi

Pedagang Sayur hingga Bakso Kini Kebagian Jatah Rumah Subsidi

Pemerintah Perluas Akses Rumah Subsidi untuk Pekerja Non Formal, 10.966 Unit Sudah Disalurkan

Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) resmi membuka akses program rumah subsidi berbasis Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di sektor non formal. Langkah ini merupakan bagian dari upaya strategis pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses kepemilikan rumah, termasuk bagi mereka yang tidak memiliki slip gaji atau penghasilan tetap.

Pekerja seperti pedagang pasar, penjual sayur keliling, penjual bakso, pengemudi ojek, petani, nelayan, dan profesi serupa kini dapat mengakses fasilitas rumah subsidi dengan syarat yang telah disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan mereka. Mereka tidak lagi harus menunjukkan slip gaji, melainkan cukup dengan bukti penghasilan yang diverifikasi melalui metode alternatif seperti surat pernyataan penghasilan yang diketahui oleh RT/RW atau tokoh masyarakat setempat.

Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, mengatakan bahwa program ini menjadi bentuk nyata keberpihakan pemerintah terhadap kelompok pekerja yang selama ini belum terlayani oleh sistem perbankan konvensional. "Sekarang pekerja non formal juga bisa punya rumah. Kami ingin mewujudkan keadilan sosial dalam akses terhadap perumahan,” ujar Heru saat dikutip dari ANTARA pada Jumat (25/4/2025).

Target 25 Ribu Unit, 44 Persen Sudah Tersalurkan

Pada tahun 2025, BP Tapera menargetkan penyaluran rumah subsidi khusus untuk sektor non formal sebanyak 25.000 unit. Hingga 24 April 2025, sebanyak 10.966 unit atau sekitar 44 persen dari total target tersebut telah berhasil disalurkan kepada penerima manfaat di berbagai daerah.

Program ini didukung oleh penyesuaian regulasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri PUPR No. 9 Tahun 2023 yang memungkinkan masyarakat non fixed income untuk mengakses pembiayaan perumahan dengan skema yang lebih fleksibel. Minimal 10 persen dari total kuota nasional FLPP setiap tahunnya kini dialokasikan untuk sektor non formal

Kolaborasi dengan Lembaga Keuangan dan Pemda

Untuk mendukung penyaluran rumah subsidi ini, BP Tapera juga menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga keuangan penyalur seperti bank pembangunan daerah (BPD) dan bank syariah. Selain itu, pemerintah daerah dilibatkan untuk melakukan pendataan dan validasi penghasilan para calon penerima manfaat di wilayah masing-masing.

Program ini juga diperkuat oleh sistem digitalisasi proses pengajuan, yang memungkinkan pekerja non formal mendaftar secara daring melalui portal resmi BP Tapera atau melalui aplikasi yang dikembangkan bersama bank penyalur. Dengan sistem ini, proses verifikasi menjadi lebih cepat dan transparan.

Dorongan untuk Meningkatkan Kualitas Hidup

Menurut data Kementerian PUPR, kebutuhan rumah di Indonesia (backlog perumahan) saat ini masih berada di angka sekitar 12,7 juta unit. Sektor non formal menyumbang sebagian besar dari angka tersebut karena rendahnya tingkat akses terhadap pembiayaan perumahan formal. Oleh karena itu, program ini diharapkan tidak hanya membantu masyarakat memiliki tempat tinggal layak, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Salah satu penerima manfaat, Siti Aminah (34), seorang pedagang sayur keliling di Kabupaten Bogor, menyatakan rasa syukurnya karena akhirnya bisa memiliki rumah sendiri setelah bertahun-tahun tinggal di rumah kontrakan. “Saya tidak pernah punya slip gaji, tapi sekarang bisa punya rumah. Rasanya seperti mimpi,” ujarnya.

Tantangan dan Harapan

Meski program ini menuai banyak respons positif, tantangan tetap ada, terutama dalam hal sosialisasi dan literasi keuangan di kalangan masyarakat non formal. Banyak dari mereka yang belum memahami skema KPR subsidi, sehingga diperlukan peran aktif dari pendamping lapangan dan petugas bank untuk memberikan edukasi menyeluruh.

Ke depan, BP Tapera menargetkan perluasan jangkauan program hingga ke wilayah-wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), dengan harapan mampu menurunkan angka backlog nasional secara signifikan dalam lima tahun ke depan.