Serikat Pekerja Minta Penundaan Kenaikan Cukai Rokok — Kenapa?

Serikat Pekerja Desak Moratorium Kenaikan Cukai Rokok Hingga 2029, Ini Alasannya
Desakan agar pemerintah menghentikan sementara atau moratorium kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) terus menguat. Salah satu pihak yang bersuara keras adalah serikat pekerja yang mewakili buruh industri rokok dan tembakau di daerah.
Ketua Forum Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Jawa Tengah, Subaan, menyampaikan bahwa rencana kenaikan tarif cukai rokok dapat berdampak serius terhadap kondisi ketenagakerjaan di sektor tersebut. Ia menilai bahwa kebijakan itu bisa menimbulkan efek domino yang merugikan banyak pihak, terutama para pekerja pabrik rokok skala kecil hingga menengah.
“Kenaikan cukai bisa menimbulkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) dan memperluas peredaran rokok ilegal,” ujar Subaan.
Serikat Pekerja Lakukan Aksi Advokasi
Sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan tersebut, FSP RTMM-SPSI Jawa Tengah telah melakukan advokasi aktif. Mereka menggerakkan unit kerja di berbagai daerah untuk menyampaikan aspirasi kepada kepala daerah, yang kemudian diharapkan diteruskan ke pemerintah pusat.
“Ini sudah kami laksanakan di Jawa Tengah, surat sudah kami kirimkan ke para kepala daerah,” jelas Subaan.
Ia berharap Presiden terpilih Prabowo Subianto bisa mendengarkan suara para pekerja dan mempertimbangkan untuk menunda kenaikan tarif CHT selama tiga tahun ke depan, mulai 2026 hingga 2029.
“Harapan kami kepada Pak Presiden, supaya cukai rokok jangan dinaikkan dulu selama tiga tahun ke depan. Kalau terus naik, rokok ilegal bisa semakin menjamur,” tutup Subaan.
Industri Rokok Masih Padat Karya
Industri hasil tembakau, khususnya pabrik rokok golongan kecil, dikenal sebagai sektor padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Menurut data Kementerian Perindustrian, industri hasil tembakau mempekerjakan lebih dari 5 juta orang secara langsung maupun tidak langsung, termasuk petani tembakau, buruh linting, dan tenaga distribusi.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sektor ini mengalami tekanan akibat kebijakan fiskal berupa kenaikan tarif cukai yang cukup agresif. Misalnya, pada tahun 2023 dan 2024, pemerintah menaikkan cukai rokok rata-rata sebesar 10% per tahun, dalam rangka menekan konsumsi rokok dan meningkatkan penerimaan negara.
Ancaman Rokok Ilegal Meningkat
Kenaikan tarif cukai yang tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang kuat membuka peluang bagi peredaran rokok ilegal. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mencatat bahwa pangsa pasar rokok ilegal sempat melonjak hingga lebih dari 6% pada 2023, meskipun target pemerintah adalah menurunkannya ke bawah 3%.
Kondisi ini diperparah dengan lemahnya pengawasan di tingkat distribusi dan produksi. Banyak pelaku industri kecil yang akhirnya memilih untuk tidak mematuhi aturan karena tingginya beban biaya produksi akibat cukai.
Pemerintah Masih Kaji Kebijakan Cukai 2026
Hingga saat ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan masih melakukan kajian atas skema penyesuaian tarif cukai rokok untuk tahun 2026 dan seterusnya. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, menyebut bahwa penetapan tarif akan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk aspek kesehatan, penerimaan negara, dan keberlangsungan industri.
“Kami masih menunggu arahan dari Presiden terpilih terkait arah kebijakan fiskal, termasuk cukai hasil tembakau,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta.
Penutup
Seruan moratorium dari serikat pekerja menjadi sinyal kuat bahwa kebijakan fiskal seperti cukai rokok tidak bisa dilepaskan dari dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan. Pemerintah ke depan diharapkan bisa menyeimbangkan antara tujuan pengendalian konsumsi dan perlindungan terhadap tenaga kerja di sektor tembakau.
0 Comments