Demo Buruh 30 September 2025 Ditunda, Ini Alasannya

Demo Buruh 30 September 2025 Ditunda, Ini Alasannya

Aksi Demo Buruh 30 September 2025 di Depan DPR Ditunda, Delegasi Disiapkan untuk Serahkan Draft RUU Ketenagakerjaan

Rencana aksi buruh besar-besaran yang sedianya digelar pada 30 September 2025 di depan gedung DPR RI akhirnya ditunda. Keputusan ini muncul setelah pimpinan DPR menyatakan kesiapan untuk menerima delegasi sebanyak 50 orang dari Koalisi Serikat Pekerja–Partai Buruh (KSP-PB). Delegasi tersebut akan menyerahkan draft RUU Ketenagakerjaan versi buruh Indonesia, untuk kemudian dibahas bersama pimpinan DPR.

Struktur KSP-PB dan Alasan Penundaan

Said Iqbal, Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, menjelaskan bahwa Koalisi Serikat Pekerja–Partai Buruh (KSP-PB) terdiri dari 73 elemen gerakan buruh. Komposisinya meliputi:

  • Partai Buruh

  • 4 konfederasi serikat buruh terbesar

  • 59 federasi serikat pekerja nasional lintas sektor: otomotif, elektronik, logam dasar, kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, farmasi, semen, percetakan, perkebunan, transportasi, awak kapal, buruh pelabuhan, air minum mineral, tenaga medis, guru, dosen, pekerja kampus, pekerja platform digital, konten kreator, dan lain-lain

  • 9 organisasi kerakyatan, antara lain Serikat Petani, komunitas ojek online (ojol), JALA PRT (Jaringan Aksi Layanan PRT), jaringan masyarakat miskin kota, buruh migran, aliansi nelayan, tenaga honorer, dan organisasi masyarakat lainnya

Penundaan aksi dilakukan karena DPR sudah menjadwalkan penerimaan delegasi tersebut pada pukul 12.00 WIB, sehingga aksi massa besar di luar gedung dianggap tidak lagi diperlukan.

Isi Draft RUU Ketenagakerjaan Versi Buruh

Draft yang akan diserahkan terdiri dari tiga bagian utama:

  1. Prinsip-prinsip formil dan materil sebagai landasan hukum dalam penyusunan undang-undang ketenagakerjaan.

  2. Pokok-pokok pikiran perlindungan kerja untuk berbagai sektor — buruh manufaktur, tenaga medis, pendidik, buruh platform digital, buruh migran, pekerja informal, hingga konten kreator.

  3. Naskah norma hukum atau pasal-pasal konseptual yang menjadi versi sandingan terhadap RUU resmi DPR.

Sebelum memasuki ruang pertemuan DPR, KSP-PB berencana menggelar konferensi pers di depan gerbang utama untuk menyampaikan tuntutan kepada publik.


Konteks Hukum: UU Cipta Kerja, Putusan MK, dan Revisi UU Ketenagakerjaan

UU Cipta Kerja & Omnibus Law

UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang disahkan pada 2020 menuai banyak kritik karena menggabungkan berbagai aturan termasuk klaster ketenagakerjaan dalam satu undang-undang. Untuk menyesuaikan dengan kritik dan dinamika hukum, pemerintah kemudian menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2022, yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 2023.

Putusan MK: UU Ketenagakerjaan Harus Berdiri Sendiri

Pada 31 Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja harus dipisahkan. MK menyatakan ada 20 pasal yang inkonstitusional bersyarat dan harus segera diperbaiki.

MK juga memberikan batas waktu 2 tahun untuk menyusun dan mengesahkan UU Ketenagakerjaan baru. Regulasi tersebut harus mengatur isu penting seperti pengupahan, PHK dan pesangon, outsourcing, penggunaan tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), hingga perlindungan pekerja informal.

RUU Ketenagakerjaan dalam Prolegnas 2025

Menindaklanjuti putusan MK, DPR melalui Komisi IX telah memasukkan revisi UU Ketenagakerjaan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Substansi yang akan dibahas antara lain:

  • Penetapan norma upah sektoral dan standar pengupahan nasional.

  • Pembatasan praktik outsourcing yang dinilai merugikan buruh.

  • Aturan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pesangon agar lebih adil.

  • Perlindungan bagi pekerja informal yang selama ini sering terabaikan dalam undang-undang.


Tuntutan Buruh: Isu Strategis dan Harapan

Meskipun aksi demo ditunda, buruh tetap menekankan beberapa tuntutan utama, yaitu:

  1. Menolak praktik outsourcing yang dianggap melemahkan posisi pekerja.

  2. Menolak sistem upah murah (HOSTUM) yang membatasi kesejahteraan buruh.

  3. Menuntut agar RUU Ketenagakerjaan berpihak pada pekerja, bukan hanya kepentingan pengusaha.

  4. Kenaikan upah minimum tahun 2026 sebesar 8,5% hingga 10,5% untuk menyesuaikan dengan inflasi dan biaya hidup.

  5. Penghapusan pajak atas Tunjangan Hari Raya (THR) dan pengurangan beban pajak buruh.

  6. Pembentukan satuan tugas (satgas) PHK agar pemutusan kerja lebih transparan dan sesuai aturan.

Dalam pertemuan sebelumnya dengan Presiden Prabowo Subianto pada awal September 2025, buruh menyampaikan dukungan politik, tetapi menekankan bahwa dukungan itu bergantung pada realisasi komitmen pemerintah dalam memperjuangkan hak-hak pekerja. Presiden pun disebut menyambut baik aspirasi tersebut dan meminta DPR mempercepat pembahasan RUU Ketenagakerjaan.


Tantangan & Implikasi dari Penundaan Aksi

Peluang Dialog vs Kekhawatiran Meredupnya Gerakan

Penundaan aksi memberi peluang dialog lebih konstruktif antara buruh dan DPR. Namun, ada kekhawatiran momentum gerakan bisa meredup jika tidak segera diikuti dengan langkah nyata.

Tekanan Publik untuk Menepati Janji

DPR dan pemerintah kini berada dalam sorotan publik. Jika tidak ada kemajuan dalam pembahasan RUU Ketenagakerjaan, buruh dapat kembali menggelar aksi yang lebih besar.

Tenggat Waktu MK

Dengan tenggat waktu dua tahun dari MK, DPR dan pemerintah harus segera menyelesaikan UU Ketenagakerjaan baru. Keterlambatan dalam pembahasan akan memicu kritik tajam dari serikat buruh, akademisi, hingga masyarakat sipil yang menuntut kepastian hukum di bidang ketenagakerjaan.