Pemberantasan Truk ODOL Picu Inflasi? Begini Faktanya

Penghapusan Truk ODOL Dinilai Tidak Akan Picu Inflasi, Pakar Sebut Masalah Utama Ada di Biaya Logistik Nasional
Ekonom Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi, menegaskan bahwa penghapusan truk Over Dimension and Over Load (ODOL) tidak serta-merta akan menyebabkan kenaikan inflasi nasional. Menurutnya, argumen yang mengaitkan pelarangan truk ODOL dengan inflasi terlalu menyederhanakan persoalan logistik di Indonesia.
Sebagai informasi, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan tengah menggencarkan kebijakan zero ODOL yang rencananya akan diberlakukan secara penuh mulai 1 Januari 2026. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan infrastruktur jalan akibat beban berlebih serta meningkatkan keselamatan lalu lintas. Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra, terutama dari pelaku industri logistik dan pengusaha angkutan barang.
Biaya Logistik Lebih dari Sekadar Kapasitas Muatan
Acuviarta menjelaskan, anggapan bahwa inflasi akan meningkat akibat larangan truk ODOL muncul karena kekhawatiran terhadap meningkatnya ongkos logistik. Dalam skenario tersebut, ketika satu truk yang biasanya membawa muatan berlebih harus membatasi kapasitasnya sesuai aturan, maka jumlah perjalanan dan unit truk yang dibutuhkan akan bertambah. Akibatnya, biaya operasional logistik pun naik.
Namun, menurutnya, logika tersebut tidak serta-merta valid. "Saya tampaknya enggak setuju kalau kemudian truk membawa dalam kapasitas yang semestinya itu dianggap akan menaikkan inflasi. Enggak dong," ujar Acuviarta dalam wawancara bersama Liputan6.com, Kamis (8/5/2025).
Dia menekankan bahwa komponen biaya logistik jauh lebih kompleks daripada sekadar kapasitas muatan truk. “Persoalannya bukan cuma karena truk bawa barang lebih sedikit, tapi karena sistem logistik kita yang belum efisien,” lanjutnya.
Biaya Logistik Jakarta-Padang Lebih Mahal dari Jakarta-Singapura
Acuviarta juga menyoroti fakta mencengangkan bahwa biaya pengiriman logistik dari Jakarta ke Padang bisa lebih mahal dibandingkan Jakarta ke Singapura. Hal ini mencerminkan tidak efisiennya rantai distribusi di dalam negeri.
“Fenomena biaya logistik kita yang mahal itu memang masalah utamanya. Itu bukan cuma karena kapasitas truk saja. Karena kemacetan, harga bahan bakar yang tinggi, pungutan liar (pungli), kondisi jalan, hingga manajemen pelabuhan yang belum optimal,” paparnya.
Menurut data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pada 2024 biaya logistik Indonesia masih berkisar 23% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lain seperti Thailand (15%) dan Malaysia (13%). Ini menjadi tantangan besar dalam meningkatkan daya saing nasional.
Pemerintah Diminta Percepat Reformasi Logistik
Acuviarta mendorong pemerintah agar tidak hanya fokus pada pelarangan truk ODOL semata, tetapi juga membenahi aspek logistik secara menyeluruh. Reformasi infrastruktur jalan, integrasi sistem transportasi multimoda, digitalisasi rantai pasok, hingga pengetatan pengawasan terhadap pungutan liar perlu menjadi prioritas.
“Kalau distribusi barang bisa lebih efisien—misalnya lewat jalur laut yang dioptimalkan dengan tol laut atau kereta barang yang diperbanyak—maka dampak penghapusan ODOL terhadap ongkos logistik bisa diminimalkan,” jelasnya.
Dukungan Terhadap Zero ODOL
Meskipun banyak pihak khawatir kebijakan zero ODOL akan berdampak negatif terhadap industri, sejumlah akademisi dan pemerhati transportasi mendukung langkah pemerintah. Menurut mereka, pembiaran terhadap praktik ODOL dalam jangka panjang justru merugikan negara karena mempercepat kerusakan infrastruktur jalan dan menambah biaya pemeliharaan.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat bahwa kerusakan jalan nasional akibat kendaraan ODOL mencapai 70% dari total kerusakan yang terjadi setiap tahun. Hal ini menelan anggaran triliunan rupiah hanya untuk perbaikan jalan.
0 Comments