Sistem Kerja 996 vs Work-Life Balance: Pilihan atau Keharusan?

Sistem Kerja 996 vs Work-Life Balance: Pilihan atau Keharusan?

Apakah Mengejar Work-Life Balance Bisa Menjadi Tanda Anda Salah Pekerjaan? Ini Kata Miliarder Muda Lucy Guo

Di era modern seperti sekarang, keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi (work-life balance) telah menjadi prioritas utama, terutama di kalangan generasi milenial dan Gen Z. Banyak anak muda tidak lagi sekadar mengejar gaji tinggi atau jabatan prestisius, melainkan mendambakan fleksibilitas waktu, pekerjaan yang bermakna, serta ruang untuk kehidupan pribadi dan mental health.

Survei oleh Deloitte pada 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 60% profesional muda akan meninggalkan pekerjaan mereka dalam waktu dua tahun jika perusahaan tidak menawarkan fleksibilitas kerja dan keseimbangan hidup yang baik. Namun, di balik semangat mengejar work-life balance, muncul satu pertanyaan penting: Apakah keinginan kuat untuk menjaga keseimbangan hidup justru bisa menjadi tanda bahwa Anda belum menemukan pekerjaan yang Anda cintai?

Lucy Guo: Kerja 90 Jam Seminggu, Tapi Tetap Bahagia

Lucy Guo, miliarder muda berusia 30 tahun dan salah satu pendiri perusahaan teknologi Scale AI, mengutarakan pandangan yang cukup berseberangan dengan tren ini. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, ia mengatakan:

“Jika Anda selalu ingin pulang tepat waktu untuk ‘menikmati hidup’, mungkin Anda belum menemukan pekerjaan yang benar-benar Anda cintai.”

Lucy adalah contoh nyata dari seseorang yang menemukan gairah dalam pekerjaan. Ia memilih drop out dari Carnegie Mellon University, salah satu universitas terbaik di AS, untuk fokus membangun bisnis teknologi. Ia juga pernah bekerja di Peter Thiel Fellowship dan menjadi bagian dari Y Combinator, dua program paling prestisius bagi startup di Silicon Valley.

Meski pekerjaannya menyita waktu—bekerja dari pukul 05.30 pagi hingga tengah malam hampir setiap hari—Lucy tidak merasa terbebani. “Saya merasa bersemangat. Pekerjaan ini bukan beban, ini bagian dari hidup saya,” ungkapnya.

Kekayaan dan Pencapaian

Lucy Guo saat ini memiliki kekayaan lebih dari USD 1,2 miliar (sekitar Rp 19,5 triliun), berkat kepemilikan saham sebesar 5% di Scale AI, meskipun ia telah mengundurkan diri dari posisi eksekutif. Scale AI sendiri adalah perusahaan yang menyediakan data pelatihan untuk kecerdasan buatan dan digunakan oleh perusahaan besar seperti OpenAI dan Meta.

Menurut Forbes, Lucy bahkan sempat mengungguli Taylor Swift sebagai wanita termuda dengan kekayaan self-made terbanyak di Amerika Serikat—sebuah pencapaian luar biasa mengingat usianya yang baru menginjak awal 30-an.

Work-Life Balance: Harus Fleksibel, Bukan Mutlak

Meski menjunjung tinggi produktivitas, Lucy tidak menafikan pentingnya waktu pribadi. Ia menyempatkan 1–2 jam per hari untuk bertemu teman dan keluarga, bahkan di tengah jadwal yang super padat.

“Kita harus selalu bisa menyisihkan waktu untuk orang-orang terdekat, seberapa sibuk pun kita,” ujarnya.

Pernyataan ini mencerminkan bahwa keseimbangan hidup bukan tentang memisahkan total antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, tetapi tentang menemukan harmoni antara keduanya—sesuai gaya hidup, tujuan, dan prioritas masing-masing individu.

Apa Kata Psikolog dan Ahli Karier?

Psikolog karier dari Harvard, Dr. Laura Hamill, mengatakan bahwa mencari work-life balance itu penting, tapi tidak semua orang menafsirkannya dengan cara yang sama.

“Bagi sebagian orang, work-life balance berarti waktu luang yang banyak. Tapi bagi yang lain, bisa bekerja dalam bidang yang disukai hingga larut malam juga bisa dianggap sebagai keseimbangan, karena itu memberi kepuasan batin,” jelasnya.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada definisi tunggal tentang work-life balance. Yang terpenting adalah sejauh mana seseorang merasa puas dan memiliki kendali atas hidupnya.


Kesimpulan

Work-life balance memang penting, tetapi jangan sampai menjadi indikator utama dalam memilih pekerjaan. Seperti Lucy Guo, mungkin Anda justru akan merasa lebih "hidup" ketika menemukan pekerjaan yang benar-benar Anda cintai—meskipun itu berarti bekerja lebih lama dari jam kantor standar.

Jadi, pertanyaannya bukan lagi: "Apakah saya punya work-life balance?"
Melainkan: "Apakah saya bahagia dengan cara saya menjalani hidup dan bekerja?"