Wacana Gaji Warga Jakarta Rp 10 Juta, Layak atau Tidak?

Wacana Gaji Warga Jakarta Rp 10 Juta, Layak atau Tidak?

Dedi Mulyadi Janji Gaji Rp10 Juta per Keluarga Jika Jadi Gubernur Jakarta, Ekonom: Produktivitas Harus Naik

Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi, mengutarakan pernyataan mengejutkan yang langsung menyita perhatian publik. Ia menyatakan keyakinannya untuk mampu memberikan gaji sebesar Rp10 juta per kepala keluarga di Jakarta jika dirinya terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2024 mendatang.

Menurut Dedi, janji tersebut bukanlah retorika politik belaka. Ia menilai, kebijakan tersebut sangat mungkin direalisasikan dengan mengoptimalkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta yang besar. Pada tahun 2024, APBD Jakarta tercatat mencapai lebih dari Rp83 triliun—tertinggi di antara seluruh provinsi di Indonesia.

“APBD Jakarta itu sangat besar. Kalau kita kelola dengan efisien dan transparan, saya yakin bisa dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, termasuk melalui skema insentif langsung kepada keluarga,” kata Dedi dalam konferensi pers yang digelar di Bandung pada Selasa (13/5/2025).

Namun, pernyataan ini memicu berbagai tanggapan, terutama dari kalangan ekonom dan pengamat kebijakan publik. Mereka mempertanyakan kelayakan dan dampak jangka panjang dari kebijakan semacam itu terhadap stabilitas fiskal dan struktur ekonomi daerah.

Salah satu komentar datang dari Head of Macroeconomics and Market Research Permata Bank, Faisal Rachman. Ia menekankan bahwa pemberian gaji atau insentif dalam jumlah besar bukanlah hal yang mustahil, asalkan diiringi dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi pengeluaran daerah.

“Dari sisi kami melihatnya bahwa kenaikan gaji harus dibarengi dengan produktivitas. Selama produktivitasnya bisa naik lebih tinggi daripada kenaikan gaji, itu memang tidak jadi masalah. Jadi memang yang harus ditanyakan adalah, kenaikan gaji itu programnya apa?” ujar Faisal saat ditemui di Kantor Permata Bank, Jakarta, Rabu (14/5/2025).

Faisal juga mengingatkan bahwa kebijakan populis seperti ini harus melalui kajian mendalam agar tidak menjadi beban fiskal di masa mendatang. Ia menyarankan agar program-program insentif diarahkan untuk mendorong investasi sumber daya manusia, seperti pelatihan kerja, digitalisasi UMKM, dan perbaikan infrastruktur publik.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Haryanto Sutedjo, menyebut bahwa gagasan Dedi Mulyadi bisa menjadi terobosan sosial yang signifikan, tetapi sangat bergantung pada skema pelaksanaan yang realistis.

“Kalau gaji ini dimaksudkan sebagai semacam Universal Basic Income (UBI), maka harus ada perencanaan matang. Termasuk siapa yang berhak menerima, bagaimana mekanisme distribusinya, dan dari mana sumber dananya,” jelasnya.

Lebih lanjut, Prof. Haryanto menambahkan bahwa DKI Jakarta perlu tetap menjaga keseimbangan antara kebijakan sosial dan pembangunan jangka panjang. Ia menyoroti pentingnya menjaga belanja modal agar pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik tidak terhambat.

Di sisi lain, beberapa pengamat politik melihat pernyataan Dedi sebagai langkah strategis untuk menarik simpati warga menjelang Pilkada Jakarta 2024. Survei sementara menunjukkan elektabilitas Dedi Mulyadi mulai mengalami kenaikan sejak wacana ini digulirkan, terutama di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah.

Partai Gerindra, yang disebut-sebut menjadi salah satu partai pendukung Dedi, belum memberikan pernyataan resmi terkait usulan tersebut. Namun beberapa elite partai menyatakan siap mengkaji visi-misi Dedi secara komprehensif sebelum menetapkan arah dukungan.

Sebagai catatan, Jakarta saat ini tengah menghadapi sejumlah tantangan besar, seperti ketimpangan pendapatan, urbanisasi yang cepat, dan kebutuhan akan transportasi publik yang lebih baik. Program gaji keluarga ini, bila tidak dirancang dengan hati-hati, bisa berdampak pada pengalihan anggaran dari sektor vital lainnya.

Meski demikian, ide besar seperti ini membuka ruang diskusi penting tentang bagaimana anggaran daerah bisa dimaksimalkan demi kesejahteraan rakyat secara langsung. Waktu akan membuktikan apakah janji ini akan menjadi lompatan revolusioner atau sekadar retorika kampanye yang sulit direalisasikan.