Rupiah Melemah, Hampir Tembus Rp16.250 karena Trump Ancam Naikkan Tarif Impor Jepang 35%

Rupiah Melemah, Hampir Tembus Rp16.250 karena Trump Ancam Naikkan Tarif Impor Jepang 35%

Rupiah Melemah ke Rp 16.246 per Dolar AS, Pasar Cemas Dampak Kebijakan Trump dan Sikap Hati-hati The Fed

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali tertekan pada Rabu, 9 Juli 2025. Berdasarkan data pasar, rupiah ditutup melemah sebesar 47 poin ke level Rp 16.246 per dolar AS, dibandingkan penutupan sebelumnya di level Rp 16.188. Pada perdagangan intraday, rupiah bahkan sempat menyentuh pelemahan 50 poin.

“Untuk perdagangan esok hari, rupiah diperkirakan akan bergerak fluktuatif namun cenderung melemah di kisaran Rp 16.230 hingga Rp 16.300,” ujar Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (9/7/2025).

Sentimen Global: The Fed, Inflasi, dan Ketidakpastian Tarif Trump

Pelemahan nilai tukar rupiah terjadi di tengah meningkatnya ekspektasi bahwa bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), akan memangkas suku bunga acuannya pada bulan September 2025. Namun, sinyal dari Ketua The Fed Jerome Powell justru masih menunjukkan kehati-hatian.

Dalam kesaksiannya di hadapan Senat AS awal pekan ini, Powell menyatakan bahwa masih terdapat ketidakpastian besar terkait inflasi dan kebijakan fiskal yang sedang digodok di pemerintahan Presiden Donald Trump. Ia mengindikasikan bahwa pemangkasan suku bunga tidak akan dilakukan dalam waktu dekat, setidaknya sampai ada kepastian lebih lanjut terkait tekanan inflasi dan dampak kebijakan perdagangan internasional AS.

“Kami masih menilai risiko inflasi dari dampak tarif masih belum sepenuhnya tercermin dalam data, dan terlalu dini untuk mengambil keputusan pelonggaran kebijakan moneter,” kata Powell dalam pernyataannya.

RUU Pajak dan Ancaman Tarif Trump Bayangi Pasar

Pasar global juga tengah memantau perkembangan legislasi baru yang didorong oleh Presiden Donald Trump berupa RUU pemotongan pajak dan peningkatan belanja negara. RUU ini telah disetujui di Senat, dan kini sedang menunggu pembahasan lanjutan di DPR AS. Apabila disahkan, dampaknya terhadap defisit anggaran AS dan tekanan inflasi bisa memengaruhi arah kebijakan The Fed ke depan.

Di sisi lain, pernyataan mengejutkan datang dari Presiden Trump yang menyatakan tengah mempertimbangkan untuk menaikkan tarif impor barang dari Jepang hingga 35%. Langkah ini dipicu oleh kegagalan perundingan dagang antara kedua negara yang belum mencapai kesepakatan menjelang tenggat waktu perjanjian baru minggu depan.

“Penerapan tarif perdagangan AS yang lebih tinggi berpotensi menimbulkan gangguan ekonomi global yang lebih luas, termasuk terhadap mitra dagangnya di Asia, seperti Indonesia,” jelas Ibrahim.

Sebagai catatan, sebelumnya AS telah menandatangani kesepakatan dagang dengan Inggris dan kerangka kerja perdagangan terbatas dengan Tiongkok. Namun, ketegangan dengan Jepang menambah daftar panjang tantangan ekonomi global yang menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan.

Efek Terhadap Indonesia dan Prospek Rupiah

Rupiah, sebagai salah satu mata uang pasar berkembang (emerging market), menjadi salah satu yang paling sensitif terhadap dinamika global seperti kebijakan suku bunga AS dan eskalasi perang dagang. Ketika investor mencari aset yang lebih aman (safe haven) seperti dolar AS, maka permintaan terhadap rupiah cenderung menurun, yang mendorong nilai tukarnya melemah.

Bank Indonesia (BI) sejauh ini tetap waspada terhadap volatilitas pasar dan menyatakan akan terus berada di pasar guna menjaga stabilitas nilai tukar dan mendorong kepercayaan investor. Namun, pelemahan rupiah juga bisa berdampak pada inflasi domestik, terutama karena Indonesia masih mengandalkan impor untuk beberapa kebutuhan pokok seperti bahan pangan dan energi.

Kesimpulan dan Proyeksi ke Depan

Dengan kombinasi ketidakpastian kebijakan fiskal dan dagang di AS, kehati-hatian The Fed, serta tekanan global yang belum mereda, nilai tukar rupiah kemungkinan masih akan berada dalam tren tertekan dalam beberapa minggu ke depan. Namun, potensi stabilisasi tetap ada apabila ada kejelasan dari arah kebijakan The Fed dan meredanya tensi geopolitik dagang.

Pemerintah Indonesia bersama Bank Indonesia perlu tetap bersiap dengan langkah-langkah antisipatif untuk menjaga daya beli masyarakat dan memastikan likuiditas di pasar tetap terjaga.